Alek Karci Kurniawan
Mahasiswa biasa di luar, Editor Cadiakpandai.com
Biarkan saya berpikir sebentar. Apa lah yang mau saya tulis mengenai negara mahasiswa. Bingung sebenarnya. Tak ada pengalaman saya menjabat di lembaga-lembaga politik kampus. Saya toh cuma mahasiswa biasa. Bahkan untuk diembankan frasa “maha” sebelum “siswa” itu pun rasanya saya tidak layak. Apa yang mau di-maha-kan? Belajar saja saya tidak benar.
Lha kok sekarang sok nulis tentang dinamika politik kampus. Emang paham? Itu kan berada di radius yang jauh dari pengalaman hidup sahaya yang jelata ini.
Jujur saja, kerana tersorong mengiyakan permintaan Pemred Gema saja—saya jadi tidak enak makan. Musabab terlanjur disangka penulis, padahal sebenarnya amatiran. Namun, laksana yang diajarkan dosen-dosen di kampus merah: hakim tidak boleh menolak perkara. Barangkali penulis amatir tidak boleh pula menolak bila diminta membuat tulisan. Saya anggaplah ini tahapan belajar.
Nun sejarahnya, setelah saya baca-baca, kongsi ini telah lama terbelah. Biasalah, beda pandangan, beda haluan—diliputi masalah yang tidak terpecahkan. Kan juga lazim terjadi di likak-likuk NKRI. Pemerintahan terbelah, koalisi terpecah, antar penegak hukum sikut-sikutan, internal partai berkecai-kecai, organisasi sepak bola berketai-ketai dan dilumut sanksi. Namun bedanya disini, replikanya negara mahasiswa. Sehingga bila diusut negara Mahasiswa Unand, sampai saat ini ada empat kedaulatan negara mahasiwa merdeka: ada KM Unand, Negara Mahasiswa Fakultas Hukum, FISIP dan FIB.
Bila boleh sok teoritis, tentu berbicara perihal negara kita bakal merujuk kepada empat unsur yang sudah banyak diucapkan pakar-pakar: wilayah, warga negara, pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan negara lain. Namun membedahnya bakal sulit, saya rasa, tak tertolong pula oleh pisau bedah anak kedokteran.
Biarpun bisa membuat batas-batas wilayah secara adat, pemerintahan yang berdaulat serta pengakuan (setidaknya dari kawan-kawan)—namun bagaimana dengan warganya (maksudnya, mahasiswanya)? Apa mungkin warga negara mahasiswa mesti pakai paspor pula dalam melakukan perjalanan antar negara mahasiswa. Kan, kepalang repot jadinya. Membayangkannnya saja saya tidak mampu.
Nah, bagaimana jika warga suatu negara malah kejadiannya menjabat di struktur negara lain? Tak usah dibayangkan, ini sudah ada di negara bikinan mahasiswa Unand. Jangan tanya apa teorinya? Belum ada. Barangkali ini bisa jadi bahan penelitian tugas akhir kawan-kawan ilmu politik dan hukum tata negara.
Seperti mana berita yang diturunkan Gema Justisia, belum lama ini, ada sepuluh orang mahasiswa yang dicabut hak politik mahasiswanya sebagai warga negara fakultas hukum. Lantaran menjabat dalam struktural negara lain (haibat bukan, seorang warga negara bisa punya jabatan di luar yurisdiksi negaranya. Sekali lagi, belum ada ini teorinya).
Dari SK Presiden BEM FH Unand (yang saya lupa nomornya itu) disebutkanlah bahwasanya dalam rangka menjaga status kewarganegaraan mahasiswa FH Unand, agar tidak menimbulkan kekeliruan sesuai Konstitusi dan Undang-Undang—warga negara yang bersangkutan diputuslah untuk tidak dapat memilih dan dipilih dalam pemilu; menduduki jabatan struktural di lembaga negara; serta kelompok aspirasi mahasiswa di fakultas hukum.
Kerana tiga hak politik yang dicabut itu, barang tentu menjadi haiboh bagi yang bersangkutan. Saya coba cari tahu dari fesbuk respon mereka (mahfumlah, fesbuk kan banyak dapat cerita daripada saya). Geratak-gerutuk berseliweran di dinding-dinding maya:
“Serasa Orde Baru”
“Pemimpin Negara Antah Berantah”
“merka gk punya hak”
“Becandanya nyesakin”
“kerja mereka apa cba?”
Begitu, status dan komen yang beredar (tolong jangan tanya nama, saya tidak mau menyebutkan orang, panggil saja malabar, ehh.. mawar, mawar).
Begini Bung dan Nona sekalian. Pertama, sahaya ikut prihatin dengan dicabutnya hak politik Bung dan Nona. Selanjutnya, menurut saya: santai sahaja lah, tak cucok sama sekali untuk dihaiboh-haibohkan.
Orde baru apaan disebut, kita toh hidup di orde yang paling baru. Negara antah berantah? oaalah., jangan gitu lah. Memangnya apa yang menurutmu tidak antah dan tidak berantah?
Dibatasi untuk tidak dipilih dalam pemilu, tidak menduduki jabatan struktural di lembaga negara fakultas serta kelompok aspirasi mahasiswa—menurut saya, itu wajar-wajar saja. Sekarang ini, “Yang Dicabut” itu sedang menjabat di suatu struktur negara, ngapain lagi memikirkan mau dipilih dan menjabat pula di tempat lain? Begitu logika husnudzon-nya.
Selesaikan saja kepengurusan aktivisme itu satu-satu. Di zaman peradaban kampus yang kepalang mekanis ini, menjadi mahasiswa saja sudah terengah-engah, alih-alih menjadi aktivis mahasiswa.
Lihat sahaja, ruang-ruang kelas yang sudah jadi tempat orang-orang berdo’a: yang ada hanya diam, dan mengangguk-angguk. Kuliah dilalui dengan cara sederhana: datang-dengarkan lalu pulang. Lebih mirip tontonan bioskop ketimbang kuliah.
Tak ada pertarungan ide, gagasan, dan ruang dimana tiap pikiran diadu untuk dicari mana yang lebih sesuai. Apa dikata mau disebut “agent of change”, “avant-garde”, maupun benteng terakhir barak demokrasi—ahh takar sajalah sendiri-sendiri.
Akhirulkalam, daripada perihal SK yang tadi itu menjadi kehebohan yang cempreng bunyinya—sebagaimana yang disampaikan Presiden BEM Hukum dalam wawancara dengan Gema, masih terdapat ruang untuk dibuka pembicaraan (penyampaian langsung ke yang mengeluarkan SK)—jika punya pendapat berlainan dan tidak setuju.