Oleh : Delly Ferdian
Pemerhati ekonomi politik JEMARI Sakato Sumatera Barat
Walaupun hanya menyaksikan detik-detik pengibaran sang saka merah putih dari depan layar televisi, namun suasana hikmat juga terasa bagi saya secara pribadi. Alunan lagu-lagu kebangsaan seolah membuat suasana semakin hidup, seketika yang terbayang dibenak saya adalah betapa mulianya para pendahulu kita yang telah berkorban jiwa dan raga agar Negara ini merdeka. Saya yakin bahwa apa yang mereka inginkan sangat sederhana yakni di masa yang akan datang, anak, cucu, dan seluruh keturunan mereka yang nantinya hidup di tanah air ini tidak merasakan lagi apa yang mereka rasakan.
Kini Indonesia telah berumur 71 tahun, Negara kita telah lepas dari penjajahan, sudirman telah menang dengan taktik gerilyanya dan itu lah yang orang bilang “merdeka”. Berdasarkan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya) , tidak terkena atau bebas dari tuntutan, dan tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, dan leluasa. Lalu apakah kita sudah benar-benar merdeka ? Memang kita telah bebas dari penjajahan kolonial, Negara-negara di dunia telah mengakui kemerdekaan Indonesia, namun apakah kita secara keseluruhan telah sampai kepada kemerdekaan yang hakiki ? Apakah kemerdekaan itu telah merata, dalam artian telah dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali ? Mungkin jawaban tersebut dapat kita rasakan sendiri sebagai warga Negara Indonesia saat ini.
Lalu, jika Indonesia ini diibaratkan selayaknya seorang manusia yang telah berumur 71 tahun, maka Indonesia sudah terbilang tua. Manusia yang tua dengan umur demikian pastilah sudah banyak kehilangan kemampuannya, tidak lincah lagi, tidak bertenaga, tidak bergairah, dan pastinya hanya tinggal menunggu mati saja. Menjadi tua dan renta, lalu mati, itulah kebenaran yang pasti terjadi pada setiap manusia.
Namun apakah Indonesia benar telah menjadi tua dan renta, lalu hanya tinggal menunggu mati ? Kita harus sadar bahwasahnya setelah berumur 71 tahun ini, Indonesia masih berkutat dengan hal-hal yang remeh temeh. Jika kita bandingkan dengan Republik Korea Selatan yang hari kemerdekaannya hanya berbeda 2 hari saja (15 Agustus 1945), maka kita ibarat ketinggalan kereta selama dua puluh tahun. Korea Selatan kini sedang mengembangkan teknologi mutakhir, mereka merangcang nuklir, bahkan kabarnya mereka telah mulai berfikir untuk mengembangkan wisata keluar angkasa. Sungguh sangat ironis jika kita bandingkan dengan Negara kita yang sampai dengan detik ini masih terjebak dalam pembenahan-pembenahan yang mendasar (elementer), seperti mengatasi supply bahan pangan layaknya daging sapi dan segala macamnya, lalu mengatasi banjir yang selalu datang setiap musim penghujan tiba, bahkan sampai pada mengatasi ketersedian pelayanan kesehatan serta pendidikan bagi masyarakat yang seharusnya menjadi hak
Lihat saja, Korea Selatan yang selalu kita rendahkan karena jualan boy band yang katanya seperti banci itu, ternyata jauh meninggalkan kita. Boy band dan segala macamnya itu telah menjadi trend dunia yang akhirnya menjadi penghasil devisa terbesar bagi Negara mereka. Dari Jualan karya seni, entertain dan segala macamnya, membuat berbagai sektor bisnis di Korea Selatan berkembang. Paket perjalan wisata ke korea menjamur, bisnis wisata dan kuliner menggeliat, semua tentu menghasilkan keuntungan tersendiri bagi rakyat Korea Selatan. Jika kita bandingkan pada sektor ini, devisa terbesar yang didapat Indonesia berasal dari para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang banting tulang menjadi para pekerja non professional, seperti buruh dan pembantu rumah tangga di negeri orang. Ya, Boy band dan TKI ibarat bumi dan langit.
Banyak ketertinggalan yang harus kita kejar, untuk mengejarnya tentu kita butuh sebuah gerakan kolektif yang realistis. Oleh karena itu saya sangat mendukung ketika Presiden Jokowi menyampaikan gagasannya tentang “Kerja Nyata” dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 2106 yang lalu dalam sidang DPR dan DPD RI. Kerja nyata yang dimaksud Presiden Jokowi adalah kerja yang dalam artian bahwa sesuatu hal baru dapat dikatakan kerja apabila ada hasil nyatanya. Kerja nyata artinya kita harus mampu men-deliver kesejahteraan kepada rakyat, dalam bentuk apa pun yang dapat dirasakan rakyat secara langsung.
Gerakan Kolektif
Dengan kerja nyata, Presiden Jokowi tampak sibuk membangun dan membangun. Contohnya, pembangunan jalan tol Sumatera kini sedang dikejar, belum lagi pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, Block Masela, lalu proyek pembangkit listrik 35.000 MW, dan lain sebagainya. Belanja infrastruktur memang harus kuat, logikanya ketika Pemerintah cukup alot membelanjakan anggaran pada sektor tersebut maka peran swasta dengan otomatis akan meningkat karena akses yang memadai akan dengan senantiasa memotong ongkos investasi bagi para pelaku usaha.
Belum lagi perhatian Pemerintah pada daerah yang cukup tinggi, dengan berlandasan nawa cita yakni membangun Indonesia dari pinggiran. Walaupun ada beberapa pihak yang menyayangkan adanya pemotongan anggaran pada dana transfer ke daerah yakni 729,270 Triliun pada APBN-P 2016 menjadi 700,026,7 Triliun pada RAPBN 2017 (Sumber : Kementrian Keuangan). Namun hemat saya, pemotongan tersebut adalah pemotongan belanja non prioritas sehingga dapat dikatakan tidak berpengaruh, dan di sisi lain Pemotongan yang dilakukan Pemerintah juga mempertimbangkan daya serap anggaran daerah yang sampai sekarang masih lemah. Sederhananya, banyak kasus rendahnya serapan anggaran pada daerah di Indonesia adalah bukti bahwa kemampuan Pemerintah daerah dari hulu (perancangan) ke hilir (eksekusi) tidak baik.
Banyaknya dana yang tersimpang di bank, atau dana yang tidak terpakai tentu sangat tidak baik. Sedangkan untuk dana desa lebih diperbesar yakni 60 Triliun pada RAPBN 2017 yang sebelumnya Komitmen Pemerintah untuk membangun Indonesia dari pinggiran harus kita dukung, untuk mendukungnya kita harus pula membuat gebrakan tersendiri, yakni sebuah gerakan kolektif. Salah satu gerakan kolektif yang telah dibangun adalah gerakan “Desa membangun” yakni perubahan paragdima dari “Membangun Desa”. Gerakan desa membangun telah dipopulerkan ketika UU desa digulirkan, dimana artinya pembangun harus dimulai dari desa itu sendiri karena logikanya desalah yang tau apa kebutuhan serta potensi dan tantangan yang ada di desanya masing-masing. Dengan digulirkan UU Desa, maka animo masyarakat akan terpancing sehingga ruang masyarakat untuk berpartisipasi lebih tinggi.
Selain penguatan partisipasi masyarakat dalam membangun, agenda-agenda perbaikan kelembagaan politik harus juga diperhatikan. Selama ini, kelembagaan politik kita masih terbelenggu dalam jerat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Pentingnya memperkuat kelembagaan politik adalah karena setiap keputusan politis maupun kebijakan akan selalu di godok terlebih dahulu dalam ruang-ruang politis.
Negara kita memang sudah terbilang tua, namun jika kita bandingkan dengan banyak Negara yang mapan atau Negara yang telah maju maka umur Indonesia belum seberapa apalagi Negara kita punya banyak cerita kelam sehingga membuat banyak pekerjaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa menjadi keteteran. Dan sekarang waktunya untuk melakukan lompatan-lompatan besar, pasalnya kita telah dihadapkan pada persaingan global, pasar bebas telah di depan mata, komunitas ASEAN menantang kita. Oleh karena itu kita harus menyalip Negara-negara lain di tikungan, kita adalah bangsa yang besar oleh karena itu kita harus menjadi Negara yang besar pula di mata dunia. Caranya kita harus bergerak secara kolektif, membangun gerakan kolektif antara masyarakat dan pemerintah.
Bertambahnya usia tentu merupakan sebuah kepastian, namun untuk sebuah Negara maka menjadi tua adalah pilihan. Walaupun harus menjadi tua, sebisa mungkin jangan menjadi renta, sehingga kita masih mempunyai semangat untuk terus bergerak maju dan bertumbuh menjadi lebih baik. Merdeka Indonesiaku.