• Home
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami
Gema Justisia
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni & Sastra
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni & Sastra
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Gema Justisia
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Home Liputan dan Peristiwa

Charles Simabura: Independensi KPK Terancam

Sabtu, 28 September 2019 - 07:18 WIB
Liputan dan Peristiwa
0
Charles Simabura: Independensi KPK Terancam

Perwakilan KPK dan Ahli Hukum bahas upaya akhir penyelamatan KPK dalam forum group discussion di ruang sidang dekanat, Jumat (27/9).

BagikanTweetKirimBagikanQR Code

Gelombang aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk menolak revisi undang-undang yang dilakukan oleh Presiden dan DPR, salah satunya RUU KPK yang dianggap melemahkan KPK, namun hingga kini belum menemukan ujung.

Terkait RUU KPK, Badan Eksekutif Mahasiswa Negara Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas (BEM NM FHUA) mengadakan Forum Grup Discussion (FGD) bersama akademisi FHUA dan narasumber dari KPK, Jumat (27/9).

Bertempat di ruang sidang dekanat FHUA, dimulai pada pukul 08.30 WIB. Acara yang bertemakan “Upaya Akhir Penyelamatan KPK” secara resmi dibuka oleh Dekan FHUA Busyra Azheri, dihadiri Wakil Dekan III FHUA Lerry Pattra, Dosen Hukum Tata Negara Charles Simabura, Dosen Hukum Pidana Nani Mulyati, Perwakilan KPK Erik Febrian dan Maulida, serta mahasiswa FHUA.

Forum group discussion dengan moderator Ikhbal Gusri ini membahas mengenai pasal-pasal dalam RUU KPK yang dinilai kontroversial. Materi disampaikan oleh Erik Febrian, Nani Mulyati dam Charles Simabura.

Dalam diskusi ini, Erik Febrian menyampaikan, bagi KPK terdapat 26 poin penting pelemahan KPK dalam UU tersebut yang telah disahkan. Dari penjelasan yg disampaikan itu, Gema Justisia menangkap dua garis besar mengenai poin-poin tersebut.

Pertama, mengenai pelemahan independensi KPK, KPK tidak lagi termasuk lembaga independen tetapi masuk ke dalam rumpun lembaga eksekutif, begitupun dengan status pegawai KPK yang berubah menjadi aparatur sipil negara (ASN). Terdapat dalam Pasal 1 RUU KPK menyatakan bahwa KPK termasuk rumpun lembaga eksekutif. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa pegawai KPK termasuk ke dalam Aparatur Sipil Negara, dimana pegawai dapat menyampaikan pendapat apapun kepada pemimpin KPK, tanpa ada tingkatan-tingkatan eselon.

Kedua, mengenai dewan pengawas, dimana dewan pengawas adalah yang akan memberikan persetujuan untuk melakukan penyadapan dalam tingkat penyidikan dan penggeledahan. Seharusnya, pengawas hanya melakukan pengawasan-pengawasan saja. Syarat untuk menjadi dewan pengawas lebih rendah kualifikasinya dari Pegawai KPK dan Komisioner KPK.

Perwakilan KPK, Erik Febrian menjelaskan bahwa, penyelamatan keuangan negara lebih besar di bidang pencegahan dibandingkan dengan upaya penindakan. Erik mengungkapkan, “Mungkin jika kita lihat datanya bidang penindakan KPK, kerugian keuangan negara yang bisa diselamatkan dengan aset recovery dan sebagainya, itu hanya menyelamatkan 1,5 triliun rupiah. Jika kita lihat dari segi pencegahan, pengembalian aset dari strategi pencegahan melalui penerimaan negara bukan pajak saja 14 triliun, pengembalian gratifikasi 137,19 triliun  rupiah dan beberapa peningkatan pajak lainnya.”

Lebih lanjut, Erik menjelaskan, “KPK telah melakukan kegiatan (pencegahan) dengan lembaga-lembaga yang ada di pusat maupun di daerah. Misalnya, di provinsi-provinsi lain yang ada di Sumatera berkaitan dengan pajak dan penerimaan negara bukan pajak, itu kita mendorong melalui sistem di perpajakannya.”

Jika dilihat dari segi hukum pidana, Menurut Nani Mulyati “Procedural criminal law diciptakan untuk mengatur aparat penegak hukum untuk berperilaku due proces of law, dimana setiap penegak hukum ketika melakukan tindakan apalagi upaya paksa yang  pada prinsipnya melanggar Hak Asasi Manusia, dan ketika negara melakukan penyadapan atau upaya paksa kepada warga negara Indonesia harus dengan UU yang jelas. UU ini merupakan landasan bagi KPK untuk melakukan segala tindakan hukum yang dilakukannya.” ujar Nani.

Dalam Pasal 12 RUU KPK, terkait dengan penyadapan, hanya tindak pidana yang dianggap sulit untuk pembuktian yang dapat dilakukan penyadapan. Berkaitan dengan Pasal 12 tersebut, Nani mengatakan, “Penyadapan di dalam revisi UU KPK ini harus mendapatkan izin dewan pengawas, sekarang komisioner, yang diinginkan oleh revisi UU ini adalah mendapat izin lebih jauh kepada lembaga yang bukan merupakan bagian internal KPK. Jika dilihat di KUHAP, semua lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa perlu mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Berarti prosesnya cukup panjang untuk melakukan upaya paksa kepada seseorang.”

Berkaitan dengan dewan pengawas, Nani mengatakan bahwa, dewan pengawas hanya sebatas mengawasi bukan sampai pada memberi izin untuk melakukan penyadapan, Nani menilai bahwa peran dewan pengawas terlalu besar dan melebihi komisioner KPK sendiri.

Sementara jika dilihat dari segi hukum tata negara, Dosen hukum tata negara, Charles Simabura memaparkan bahwa, “Sebuah lembaga dikatakan independen yaitu dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, jika dikaitkan dengan anggaran maka tidak ada yang independen satupun. Hal yang di demo oleh orang-orang itu bukan hanya UU KPK, tetapi brutalisme orang-orang yang membuat KPK.” Ia menyebutkan, “KPK independensinya terancam.” Charles mengkritik persoalan mengenai akan dibentuknya Badan Pengawas KPK, ia menjelaskan bahwa, “Secara ketatanegaraan, DPR sebagai wakil rakyat mempunyai fungsi mengawas dan ia mengawasi KPK. Tetapi pengawasan DPR tidak seperti pengawasan ke presiden, yang dapat di angket, namun sekarang berdasarkan putusan MK, KPK bisa di angket. Faktanya, angket itu hanya manufer politik saja, buktinya angket itu tidak jelas, hanya untuk memaki-maki (mengancam) saja.”

Lebih lanjut, Charles menjelaskan, “Angket itu adalah kontrol lembaga perwakilan terhadap pemerintah dalam hal seluruh kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang dari konstitusi maupun undang-undang. Kalau diberikan kepada lembaga negara independen tentunya sudah terpisah-pisah lembaga itu.”

Pada akhir acara, terkait upaya terakhir untuk menyelamatkan KPK, Charles menjelaskan bahwa, apabila presiden tidak juga mengeluarkan Perpu dan disahkannya UU KPK dengan dikeluarkan nomor undang-undang tersebut, maka upaya yang dilakukan selanjutnya ialah mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Penulis: Nurul Anisa dan Zhilvia Assura

Editor: Bunga Syahrita

Label: KPK
BagikanTweetKirimBagikanPindai

Baca Juga

Pamflet Pendaftaran LKMM-TD 2021

LKMM-TD Sepi Peminat, Pendaftaran Kembali Dibuka!

26 Jan 2021 - 16:29 WIB

BAYANGAN PERS MAHASISWA YANG MULAI MEMUDAR

24 Jan 2021 - 08:27 WIB

Suka Duka Kuliah Online

13 Jan 2021 - 23:39 WIB

PEMBUBARAN FPI SEBAGAI ORGANISASI MASSA

9 Jan 2021 - 19:20 WIB

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@gemajustisia

Ikuti Kami di Instagram

    Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to connect your Instagram account.

Get it on Google Play

Terpopuler Sepekan

  • Pemuda Lawan Korupsi

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0

Gema Justisia

Copyright © 2019 Gema Justisia. All right reserved.
Design and maintenance by MogoDev.
  • Home
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Kode Etik
  • Standar Perlindungan Wartawan
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami
  • Home
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Kode Etik
  • Standar Perlindungan Wartawan
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami
Copyright © 2019 Gema Justisia. All right reserved.
Design and maintenance by MogoDev.
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni dan Sastra
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami