gemajustisia.com – Pengusiran KPU tidak hanya terjadi di Fakutas Hukum tetapi juga dilakukan oleh mahasiswa FISIP dan FIB. Hal yang sama terjadi karena ketiga fakultas nan sebaris memiliki kedaulatan masing-masing diluar BEM-KM unand dan sudah sepakat tidak akan memberikan izin kepada KPU untuk mendirikan TPS di Fakultas Hukum, FISIP, FIB, gedung E, gedung F dan parkiran DPR. Menurut ketiga fakultas ini area yang diatas tersebut memiliki kedaulatan masing-masing.
Penolakan ini berujung kepada pembongkaran TPS di setiap Fakultas tersebut. Masa bergerak mulai dari Fakultas Hukum, FISIP, FIB lalu menuju parkiran DPR, Gedung E dan Gedung F. Situasi memanas ketika masa mencoba untuk membongkar TPS di Gedung F dan parkiran DPR.
Pihak panitia berkelit bahwa wiliayah tersebut bukanlah territorial dari fakultas nan sabaris, sehingga sah untuk mendirikan TPS disana. Namun masa tetap menginginkan pembongkaran tetap berjalan dengan alasan wilayah itu mayoritas dihuni oleh mahasiswa FISIP, Hukum dan FIB. Negosiasi cukup alot terjadi di parkiran DPR yang sampai melibatkan Wakil Rektor III. Karena tidak tercapai kata mufakat saat itu sehingga dilaksanakanlah mediasi.
Mediasi dimulai pukul 14.30 dihadiri oleh perwakilan dari masing-masing Fakultas, Presiden BEM-KM Unand, KPU, Wakil Dekan III, dan Bapak Rembrandt selaku mediator. Selama mediasi semua pihak menyampaikan aspirasinya masing-masing mengenai pemasalahan yang terjadi dan akan ditindaklanjuti dengan rapat senat rektor.
“Apa yang telah dilakukan oleh BEM Hukum? Apakah sudah bisa menyampaikan aspirasi masyarakat di Fakultas Hukum itu sendiri?”. Pertanyaan ini disampaikan oleh Presiden BEM-KM Unand.
Hal lain juga disampaikan oleh calon presiden BEM-KM Unand nomor 2, Reido yang menyempatkan hadir dengan membawa masa mahasiswa teknik, ia mengatakan dengan keras bahwa BEM FISIP tidak pernah ada dan tidak diakui oleh rakyatnya sendiri.
Pernyataan Presiden BEM-KM tersebut langsung dibantah keras oleh Agil Oktariyal, seharusnya kita disini bukan membahas advokasi suatu lembaga. “Cara kita dalam membahas atau mengadvokasi masalah berbeda-beda dan punya cara tersendiri, serta demokrasi tanpa oposisi adalah otoriter kita siap menjadi oposisi,” ujar beliau selaku alumni mahasiswa Fakultas Hukum yang saat itu menyempatkan diri untuk hadir dalam mediasi tersebut.
Presiden FHUA Caisa Amuliadiga juga mengatakan bahwa pernyataan dari calon presiden bernomor urut 2 tersebut tidak dapat diterima oleh logika hukum ketatanegaraan karena Negara tidak selalu berbentuk Negara federal tetapi juga bisa berbentuk Negara polis atau kota.
Yudi selaku mahasiswa hukum menyatakan bahwa BEM-KM tidak pernah representative untuk mewakili mahasiswa Unand yang hampir 25.000 orang, karena pemungutan suara tiap tahunnya hanya mendapat 5000 suara. Lebih lanjut Yudi menduga BEM-KM Unand di bawah naungan salah satu partai politik.
Statement terakhirnya adalah 3 fakultas ini tetap menolak pemungutan suara sampai selanjutnya. Wakil Dekan III FIB juga menambahkan bahwa perbedaan yang membuat semua indah, dan kita ingat masa PRRI yang ketika itu memberontak malah di habisi oleh Soekarno yang pada saat reformasi juga pemikiran tentang otonomi daerah itu dimasukan sama hal nya seperti saat skrg ini, Mediasi ditutup dengan statement Wakil Rektor III, “kita semua merupakan satu almamater dan kita harus bersatu”. Terangnya