• Home
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami
Gema Justisia
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni & Sastra
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni & Sastra
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Gema Justisia
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Home Sastra dan Budaya

Hilang

Selasa, 25 April 2017 - 16:20 WIB
Sastra dan Budaya
0
BagikanTweetKirimBagikanQR Code

Oleh : Fifi Widia Sari.

Kreatif Gema Justisia.

Aku tersesat, genggamanku terlepas dalam lautan manusia seperti kumpulan semut. Pikiranku bingung, panik, entah mana yang depan dan belakang, mereka berlalu lalang dengan bentuk senyuman yang berbeda, detak jantung mereka cepat antara sesak atau mendapat sebuah kebahagiaan besar. Suara penasaran dan tawa mengelilingi kepalaku, menyelimuti rasa takut dalam diriku bahkan jiwa tidak berani untuk melangkah memindahkan tubuh ini. Jantungku merasa cemas dan tidak mau berdetak konstan. Aku tidak mendengarnya, harusnya ia menyadari ketidakberadaan dan mulai mencariku.

Aku berusaha berdiam mempertahankan tempat dimana aku tegak, hingga letusan indah yang hebat muncul, suaranya seperti senapan dalam perperangan. Beberapa dari mereka berteriak dan ada juga yang berlarian menyeretku dalam arusnya. Rasa sesal atas ketidakberdayaanku menguap, andai aku lebih besar, lebih cerdik atau lebih berani. Terlintas mungkin ada baiknya menyerah, menjatuhkan diri dan membuat kepanikan dimana akan ku lihat bagaimana sifat manusia sesungguhnya. Akankah mereka akan membawaku atau hanya mengabaikan hingga aku mati terinjak. Tapi aku hanya berjalan pelan, dengan langkah kaki pelan yang begitu kecil. Sedari tadi jari-jariku yang gemetar tak dapat ku hentikan.

Jadi, sampai kapan aku akan berada dalam posisi seperti ini? Ku arahkan pandangan ke tanah, ingin rasanya berjongkok dan menundukkan kepala. Aku ingin menangis, meskipun air mata tak akan keluar walau aku ingin memaksanya. Hanya saja, berada di sana mungkin lebih mengerikan, membayangkan diriku yang pada akhirnya tergeletak lumpuh. Ku hapuskan imajinasi bodoh dan mulai bergerak, mencoba menemukan sosok yang membawaku hilang dari pandangannya. Mungkin ia tak sadar, dan akupun tidak ingin memperluas rasa curiga serta kekecewaan terhadapnya. Berjalan di antara raksasa-raksasa yang melangkah abstrak, membuat rerumputan yang kokoh berubah menjadi kumpulan lumpur basah dan lengket. Ku tegakkan kepala, terlihat berbagai topeng-topeng wajah yang tidak aku kenali, entah topeng itu tulus atau mereka hanya menipu hati sendiri.

Seperti orang yang tersesat, aku linglung berlalu lalang kebingungan. Menelusuri semua wajah sangat merepotkan, berdesakkan layaknya kondisi stasiun di hari raya terasa panas dan sesak meski aku tau di balik jaket ini pastinya dingin. Kemudian ku genggam tangan dalam saku, menutupinya sampai tidak ada kulit lengan yang mengenai angin. Menoleh ke kanan dan kiri, berapa pun cahaya yang hidup aku tetap tidak mengenal arah di malam hari. Aku ingin popcorn, akan sangat menyanangkan memakannya di suhu yang seperti ini. Memperdaya diriku sendiri tidak terlalu buruk, setidaknya aku berusaha bertahan dalam benturan-benturan keramaian. Benda keras menyakut di kakiku membuat tubuhku jatuh mengotori lutut dan lengan baju. Seketika itu air mataku mengalir tanpa harus kupikirkan.Tapi hanya itu. Aku membangkitkan tubuh kecil ini lagi, dan mengembalikan posisiku. Aku terus berjalan, mencoba mencari jalan paling tidak keluar dari kumpulan manusia.

Setiap waktu yang ku gunakan tidak ada habisnya. Seolah-olah semua yang kulakukan hanya sia-sia. Suara-suara bising membuat kepalaku sakit. Aku ingin pergi menjauh dari tempat ini, membayangkan diri berada dalam lapangan rumput yang sejuk hanya tipuan yang percuma. Sekilas aku melihat bayangannya, menajamkan mata hingga ku temukan telapak tangannya melambai-lambai di langit. Aku melangkah mendekatinya. Kuturunkan pandangan, dan aku memandang. Wajah cemasnya berubah menjadi senyum yang melega dan kemudian tertawa seketika. Ingin sekali diriku berlari dan memukulinya dengan sekuat tenaga, tapi hal yang ku lakukan justru menangis dengan keras. Itu sangat memalukan ketika semua orang terheran menatapku. Sejak itu, aku benci keramaian dan suara bising.

BagikanTweetKirimBagikanPindai

Baca Juga

Selamat Tinggal Asa

23 Feb 2021 - 09:35 WIB

Jungkir Balik Pers

22 Feb 2021 - 02:44 WIB

Keadilan Sebatas Pajangan

9 Feb 2021 - 07:53 WIB

Terbangmu Terlalu Tinggi

12 Jan 2021 - 19:33 WIB

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@gemajustisia

    Please install/update and activate JNews Instagram plugin.

Get it on Google Play

Terpopuler Sepekan

    Gema Justisia

    Copyright © 2019 Gema Justisia. All right reserved.
    Design and maintenance by MogoDev.
    • Home
    • Redaksi
    • Tentang Kami
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
    • Kode Etik
    • Standar Perlindungan Wartawan
    • Kebijakan Privasi
    • Hubungi Kami
    • Home
    • Redaksi
    • Tentang Kami
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
    • Kode Etik
    • Standar Perlindungan Wartawan
    • Kebijakan Privasi
    • Hubungi Kami
    Copyright © 2019 Gema Justisia. All right reserved.
    Design and maintenance by MogoDev.
    • Home
    • Liputan dan Peristiwa
    • Opini
    • Sosok dan Tokoh
    • Law Share
    • Seni dan Sastra
    • Redaksi
    • Tentang Kami
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Kode Etik
    • Kebijakan Privasi
    • Hubungi Kami