Arifki
Orang Yang Mengaku-ngaku Pernah Jadi Aktivis
Perjalanan dunia pergerakan mahasiswa dewasa ini mengalami kemunduran partisipasi dari generasi ke generasi. Seperti yang saya rasakan sendiri sebagai orang yang mengaku-ngaku sebagai aktivis padahal nyatanya hanya mahasiwa yang hobinya kuliah pulang-pulang (baca: kupu-kupu).
Sebagai mantan mahasiswa kupu-kupu saya membaca pergerakan mahasiswa saat ini memang telah melewati batas kupu-kupunya saya saat awal masuk kuliah di Universitas Andalas tahun 2011 yang lalu. Saat ini kegiatan kemahasiswaan telah berubah—sulit saat ini kita mencari forum-forun literasi yang diwujudkan kalangan mahasiswa untuk menunjukan eksistensinya secara intelektual—sebagai ciri khas mahasiswa.
Berkurangnya aktivitas ini tentu dilatar belakangi beberapa sebab yang menjadi alasan gerakan mahasiswa kehilangan panggung untuk pantas diakui sebagai lokomotif kelas menengah yang mempertemukan kelas bawah dengan atas. Pertama, perubahan zaman menjadi penyebab mahasiswa kesulitan untuk bisa mengambil posisi sebagai aktivis yang kreatif tetapi tidak kehilangan substansi perjuangan. Niscaya cara-cara yang tergolong kuno yang diperkenalkan tokoh-tokoh mahasiswa untuk mensosialisasikan pemikirannya menyebabkan gagasannya ditinggalkan oleh generasi yang akan melanjutkan perjuangannya. Pasalnya, persoalan membosankan menjadi penyebab perkumpulan ini tidak seksi pada generasi hari ini.
Kedua, tokoh-tokoh mahasiswa kebanyakan selalu menghindari aktivitas politik (baca: bukan politik praktis)—politik kampus sebagai bentuk dialektika gagasan aktivitas mahasiswa untuk melegitimasikan gagasannya melalui lembaga-lembaga mahasiswa yang formal. Alasan yang selalu dikemukan adalah politik itu adalah kotor yang dominan dengan kepentingan. Sehingga defenisi politik terasa tercemar dengan kondisi politik praktis yang bobrok. Banyak kalangan tokoh mahasiswa yang berpandangan seperti itu dengan meyakini bahwa politik kampus yang identik dengan perebutan kekuasaan harus dihindari.
Terkadang disinilah saya merasa terkejut dengan ketakutan tokoh-tokoh mahasiswa pelbagai lembaga terhadap partisipasi politik kampus. Bukannya dengan adanya upaya tokoh mahasiswa untuk mengiring opini untuk menyebabkan mahasiwa lain “anti politik kampus”—tokoh mahasiswa tersebut telah berpolitik. Tokoh mahasiswa tersebut sedang mempengaruhi mahasiswa yang lainnya agar anti politik kampus seperti iman yang telah diyakini tokoh mahasiswa tadi secara bertahun-tahun dengan menanamkan pengaruhnya sebagai politisi yang tak pernah turun gelangang.
Jika saya sedikit merujuk tokoh-tokoh yang dibaca para aktivis tadi juga saya yang selalu mengaku-ngaku sebagai aktivis padahal bukan. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan M. Natsir mereka itu adalah orang-orang politik yang bergerak dengan gagasan. Menurut saya gelanggang politiklah yang menyebabkan nama mereka selalu dibicarakan—kekuasaan menjadi legitimasi nilai-nilai merujuk pendapat David Easton.
Keabaian mahasiswa yang terlibat pada ranah politik kampus menjadikan kondisi politik mahasiswa menjadi jenuh dan membosankan. Sebagai manusia atau pun mahasiswa dalam Teori Kebutuhan Abraham Maslow—setiap manusia memiliki kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi termasuk rasa ingin diakui. Secara intelektual, dialektika gagasan yang didalami mahasiswa tadi dalam teori terkadang sering macet dalam praktik yang selalu dianggab mereka tabu karena warisan nenek moyang tak bisa dilawan. Itu adalah perintah Tuhan atau pun fatwa yang tak bisa dibantah lagi. Mungkin saja!.
Dengan tidak terealisasinya kebutuhan batin mahasiwa tadi menjadikan gerakan mahasiswa menjadi bergerak di media sosial semata sebagai wujud eksistensi diri sebagai modus untuk bisa beralasan bahwa kami masih ada. Berjaraknya mahasiswa dengan aktivitas politik mahasiswa menjadikan gerakan-gerakan yang digalang sulit diakui petinggi kampus—pada akhirnya mati-suri—hidup segan mati pun tak mau.
Ketiga, berkembangannya wacana aktivis yang menyatakan dirinya sebagai orang yang paling benar. Cara termudah adalah dengan menjual-jual “agama “ atau “rakyat”—maka apa pun yang telah dilakukan maka itu adalah kebenaran dan orang lain yang tidak melakukan hal yang sama dengan mereka itu adalah musuh. Muculnya istilah mereka tidak beragama dan tidak merakyat. Sepeti Orde Baru saja, siapa yang tak patuh pemerintah berarti tidak berpancasila. Fanatisme aktivis mahasiswa yang selalu benar ini dan tak pernah salah hari-harinya niscaya bergaul penuh dengan kebencian dan dendam.
Organisasi Ekstra Kampus itu telah membawa kepentingan pada kampus ini dan organisasi mahasiswa itu adalah antek-antek partai. Inilah ungkapan aktivis mahasiswa sok idealis tetapi ingin narsis menunjukan kebenaran tunggal. Makanya, saya selalu sepakat kebenaran dan Tuhan tak hanya ada di rumah ibadah tetapi dimana-mana tanpa ada batasan. Sama halnya juga kebenaran tidak berada bagi orang yang tidak masuk organiasi apapun (baca: swasta murni) dengan mengklaim orang yang masuk Organisasi Ekstra Kampus atau pun organisasi yang diindikasikan sebagai agen-agen partai politik sebagai musuh bersama yang harus dihindari. Ini sama hal dengan persoalan LGBT yang banyak pejuang dan pembelanya tetapi persoalan penebaran kebencian yang tidak masuk akal.
Orang-orang yang menebar kebencian yang mengatasnamakan agama dan rakyat inilah yang menyebabkan gairah mahasiswa kian memudar. Karena, kampus hanya diisi oleh orang-orang ini saja yang jumlah bisa dihitung menggunakan jari. Maka, terciptalah kebenaran eklusif—benar dan salah hanya dibicarakan dilikungannya saja—tanpa ada keterbukaan orang lain untuk mengavaluasinya. Yang pembicaraanya setiap hari sibuk bicara janganlah gunakan simbol fokus pada substansi—terkadang inilah cara-cara orang non-organisasi berpolitik untuk mempengaruhi pemikiran publik agar kita sama dengan mereka denagan mengklaim kebenaran satu pihak—tugasnya hanya satu yakni mengklaim OKP antek-antek kepentingan dan organisasi yang diindikasikan sebagai bagian partai politik sebagai musuh bersama dan deklrasikan diri kebenaran itu hanya milik kelas menengah non-organisasi—seperti itulah diwahyukan Tuhan dan yang lainnnya sesat dan kafir. Ini dendam warisan para moyang atau kritik yang ikhlas. Terkadang saya merasa tertawa saja!
Sebagai penutup tulisan ini saya merujuk arti surat Al-Maidah: 8: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.