Oleh
Suci Rama Yulanda
(Pimpinan Divisi Dana dan Usaha LPM Gema Justisia)
“Sore yang sepi membuat gelas jatuh berbunyi lantang dan piring membagi dirinya dengan kasar di atas lantai karena aku tak menerima perjodohan yang di rencanakan orang tuaku tanpa persetujuanku. Memang mereka wali ku dan tak bisa ku tantang, tapi menikah adalah hak ku dan seharusnya pernikahan terjadi sekali seumur hidup bersama orang yang aku citai. Durhakakah aku menentang pernikahan yang dipaksakan ini? “
Banyak kasus dimana anak perempuan ataupun laki-laki menikah dengan paksaan baik itu karena kelakuan orang tua ataupun paksaan dari salah satu pihak yang membuat pihak kedua terpaksa menurutinya. Namun tak banyak yang terungkap karena apa? Karena sang anak tak ingin di anggap anak durhaka.
Pernikahan melalui perjodohan sudah lama terjadi seperti zaman Rasul SAW, Aisyah RA yang kala itu masih anak-anak dijodohkan dan dinikahkan oleh ayahnya dengan Rasulullah SAW dan setelah baligh barulah Ummul Mukmin Aisyah tinggal bersama Rasulullah SAW. Namun pada masa Rasulullah SAW perjodohan dibolehkan namun dengan persetujuan dari kedua belah pihak mempelai laki-laki dan mempelai wanita karena perjodohan hanyalah salah satu cara untuk menikahkan.
Namun jika dilihat pada zaman dahulu di daerah adat Minangkabau tanah urang awak banyak terjadinya perjodohan, namun yang terkenal adalah kisah perjodohan Siti Nur Baya. Siti terpaksa menikah dengan Datuk Maringgih karena Siti tak ingin ayahnya dipenjara karena utang ayahnya kepada Datuk Maringgih. Kisah Siti Nur Baya ini hanya satu dari banyaknya pernikahan yang terjadi bukan karena rasa sayang.
Sekarang di negara ini sudah ada lembaga perlindungan anak namun masih banyak anak yang mengalami kekerasan baik kekerasan fisik maupun batin. Lembaga ini tidak akan bergerak jika masyarakat ataupun anak yang menjadi korban bungkam. Pernikahan yang terjadi dengan paksaan sangat bertentangan dengan ajaran Islam untuk penganutnya dan di Negara ini bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi : “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai” dimana dalam pasal ini bermakna agar setiap orang bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan.
Pasal dalam undang-undang ini lahir karena mengacu pada hak seorang anak pada zaman dahulu meskipun berlanjut hingga sekarang, dimana anak tak dapat menentang orang tua untuk menolak pernikahan yang dipaksakan oleh orang tuanya. Terlalu banyak hal yang melatar belakangi pernikahan paksa ini sehingga anak di ancam agar melaksanakannya baik ancaman fisik maupun batin, penyiksaan batin dapat berupa ucapan “jika tak mengikuti perintah orang tuamu ini kau termasuk anak yang durhaka” itu salah satu contoh kalimat yang mengancam batin. Namun ketika pernikahan telah terjadi dan anak merasa tertekan karena paksaan, hal tersebut dapat ditanggulangi dengan pembatalan perkawinan di mana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 “apabila paksaan itu di bawah ancaman hukum.”
Hal ini juga pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW di mana seorang wanita cantik yang bernama Habibah binti Sahl menemui Rasul dan mengungkapkan kekecewaannya karena Habibah belum pernah melihat wajah suaminya sampai saat malam pertama tiba karena ia percaya pada orang tuanya dalam memilih jodoh namun iya terkejut setelah mengetahui pilihan orang tuanya yang tega memilihkan suami seperti Tsabit bin Qois yang baik kadar imannya namun buruk rupanya. Hal tersebut membuat Habibah tidak bisa sepenuhnya menerima Tsabit sebagai suaminya. Habibah tak bermaksud mencela akhlak maupun agama suaminya namun Habibah tak menyukai kekufuran dalam islam. Sehingga Rasulullah bertanya kepada Habibah apakah Habibah ingin mengembalikan kebun yang diberikan suaminya? Habibah menjawab Ya dan Rasulullah SAW bersabda : “Terimalah kebun itu hai Tsabit dan jatuhkanlah talak satu kepadanya!”. Atas perintah Rasul maka mereka bercerai dan kisah ini merupakan kisah khulu’ (gugatan cerai istri kepada suami) yang terjadi pertama kali dalam hukum islam.
Pernikahan secara paksa ini tidaklah diperbolehkan dalam islam karena dikatakan bahwa “Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya “wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
Oleh karena itu hendaklah seorang anak menyatakan pendapatnya ketika orang tua menjodohkannya. Dan bila salah seorang pihak baik mempelai wanita maupun laki-laki merasa terpaksa melakukan perkawinan maka hendaklah melaporkan ke pihak berwenang agar tidak ada anak yang menjadi korban pemaksaan dalam pernikahan. Di mana perjodohan paksa terbagi atas dua kata perjodohan dan paksa, yang mana perjodohan berarti salah satu cara untuk menikahkan dan paksa berupa tekanan. Maka bagi orang tua harusnya tidak memaksakan kehendak terlalu keras kepada anak karena hukum mengatur dan melindungi dengan demikian harusnya orang tua melindungi anak karena tak semua pilihan orang tua untuk anak adalah benar dan tak semua pilihan anak untuk dirinya adalah benar namun berdiskusilah karena rencana Tuhan lebih indah