Raymond Septian Laoli
Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan
Fakultas Hukum Universitas Andalas

Menarik untuk disimak pernyataan salah seorang kandidat capres “Prabowo Subianto” pada saat Kampanye Dialogis Untuk Indonesia Bangkit. (Republika.co.id., 12/06/2014). Suatu gebrakan yang menggugah seluruh anak bangsa terkhusus bagi kaum ekonomi lemah, yakni pernyataan “akan menggratiskan biaya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).”
Di saat ide dan gagasan “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang telah berusia puluhan tahun hampir musnah bagi kaum masyarakat kelas dua, terpinggirkan, dan disingkirkan (Baca: Marginal). Namun, hari ini menjadi salah satu bagian dari program (planning) calon pemimpin di republik ini untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap akses pendidikan tinggi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Ketika polemik-polemik ataupun parasit yang menghinggapi pendidikan kita saat ini tak dapat dibendung lagi, muncullah sebuah ide dan gagasan untuk menentang ketidakadilan di bidang pendidikan. Pada zamannya Paulo Freire, John Dewey, Ivan Illich, dkk., pemikir yang berkiprah dan mengabdikan diri pada pemikiran pedagogi kritis mengutarakan bahwa pendidikan sebagai cara pembebasan masyarakat dari pembodohan, dengan tujuan untuk mewujudkan dinamika dalam kehidupan masyarakat yang menyadari realitas kondisi pemiskinan yang membuat dia (subjek) tertindas.
Gagasan-gagasan yang pernah terbersit dalam pemikiran “pedagogi kritis”. Bahwasanya, para perintis ini menentang sekolah-sekolah formal, yang dianggap tidak memiliki kontribusi apa-apa terhadap peradaban intelektual manusia. Penentangan terhadap sekolah-sekolah formal yang dimaksud adalah bentuk kekecewaan dan rasa frustasi yang menjadi fenomena pada zamannya, karena lembaga-lembaga formal pendidikan didirikan dan memberikan jasa pendidikan oleh karena suatu imbalan jasa dalam bentuk materi. Atau pengertian dewasa ini yang tidak lazim di telinga kita adalah privatisasi dan komersialisasi pendidikan.
Retorika Humanis
Baru-baru ini, kurang lebih 250 juta rakyat yang mendiami negeri ini dan tidak sedikit masyarakat dunia internasional menyaksikan secara langsung debat kedua kandidat calon presiden (capres) Indonesia periode 2014-2019 “Prabowo – Hatta” dan “Jokowi – Jusuf Kalla” yang menggantang diatas podium.
Tema debat perspektif aspirasi rakyat dalam kerangka “Pembangunan demokrasi, Pemerintahan yang bersih, dan Kepastian hukum” menjadi barometer penggalian ide dan gagasan politik para kandidat capres. Berbagai dimensi ulasan evaluasi kritis terhadap demokrasi yang di implementasikan dan dijalankan hingga hari ini. Evaluasi kritis ini tentunya berangkat untuk perbaikan pembangunan peradaban Indonesia dimasa yang akan datang.
Fenomenologi politik hari ini merupakan bagian klasik yang penuh warna, memunculkan wacana idealisme atas keberpihakan sosial, sebagai pemajuan peradaban Indonesia dan mengembalikan kedaulatan rakyat. Kini, usaha-usaha untuk melakukan hegemoni terhadap sikap dan perasaan publik sesuatu yang tidak terelakkan. Agenda besar ini, tiada absennya di ruang publik dan menjadi diskursus yang menghantui lini kegentingan kehidupan publik akan adanya cita-cita revolusi sosial, revolusi politik, dan revolusi mental yang baru-baru ini di utarakan oleh kandidat capres bersama para “sales partai politik” yang berkoalisi menjadi relawan tim pemenangan.
Esensi ide-ide, konsep, dan demokratisasi yang diusung kedua kandidat capres tak lepas dari konteks pemenuhan hak. Pengembalian kedaulatan rakyat pun menjadi esensi berpijak untuk melakukan elaborasi akan visi–misi kedua kandidat capres. Untuk menelanjangi ide dan gagasan ini maka pemurnian keselarasan ide, gagasan, dan konsep dengan pengetahuan masyarakat harus dilakukan dengan menilik hal-hal objektif.
Tetapi, apakah identifikasi ini merupakan hal yang sempurna sebagai syarat sejati pengetahuan dan observasi masyarakat ? Karena, jangan sampai kesadaran palsu manusialah yang menjadi tolak ukur segalanya.
Kendatipun demikian, realitas politik yang digelisahkan dan menggugah pemikiran publik saat ini jika menilik pemikiran W.S. Rendra yang telah mempertanyakan serta menegaskan dalam penggalan (sajak pertemuan mahasiswa). “Kenapa ‘maksud baik’ dan maksud baik bisa berlaga ?. Rendra telah jauh membayangkan kenapa maksud baik selalu dipertentangkan. Semisal; perusahaan-perusahan internasional yang mendiami negeri ini harus di nasionalisasi, negeri ini harus berdaulat atas pangan, Indonesia harus mengembalikan image sebagai “macan asia”, hingga kebijakan peniadaan pungutan biaya kuliah di perguruan tinggi negeri.
Semuanya merupakan tujuan untuk mewujudkan pemenuhan hak yang berdasarkan keadilan. Bagi orang Romawi, keadilan dirumuskan sebagai Tri buere Suum Cuique, yakni memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi milik atau apa yang menjadi haknya. Dan kita bertanya: ‘maksud baik’ saudara untuk siapa?”. Penggalan sajak ini menggugat, memancing dan mengobarkan rasa cinta yang mendalam terhadap negeri ini.
Memang, tak mudah untuk memungkiri bilamana visi-misi yang berasaskan “maksud baik” akan dipolitisir, dan maksud baik ini tak luput menjadi komoditas haram yang digunakan untuk menggiring dan menghasut masyarakat akar rumput dalam suatu genggaman politik seperti halnya, masyarakat marginal, buruh (baca : kuli), nelayan, serta petani yang minim akan akses pendidikan politik.
Penyakit Intelektualitas
Untuk mewujudkan kandidat capres menjadi “kampiun,”visioner-visioner yang mengabdikan dir iuntuk pemenangan kandidat, tidak dapat disangkal akan diberdayakan untuk menggunakan intelektualnya dengan merancang dan menyulap kebenaran menjadi kepalsuan.
Akan berbahaya jikalau penentu arah, perancang kebijakan dan pemikiran-pemikiran untuk revolusi yang dimaksud jatuh di tangan manusia-manusia yang tidak bertanggung-jawab terhadap pengetahuan yang ia miliki, dengan tujuan mengaburkan pengetahuan tersebut demi pemasaran “ideologi keberpihakan sosial” daripadaa kandidat capres.
Inilah alasannya kenapa rakyat (subjek) harus melakukan interupsi dan mempertanyakan maksud baik yang di-gagas oleh visioner-visioner sesat ini. Rakyat butuh cendikia bijak yang mempunyai intelegensia sebagai produk civitas academica yang tidak melacurkan intelektualnya untuk kepentingan sesat.
Harapannya, demokrasi dewasa ini jangan membawa optimisme rakyat menjadi samar-samar terhadap tujuan politik sebagai alat untuk mewujudkan kebaikan bersama. Jangan sampai rakyat diberdayakan oleh hasutan-hasutan “idealisme sesat”, karena kentalnya klaim atas ide dan gagasan yang mengatas namakan tuntutan dan aspirasi dari rakyat.
Dengan demikian, semangat untuk melakukan reformasi di segala lini jangan hanya sebatas “ilusi”terhadap pemikiran-pemikiran “radikal” atas ide, gagasan dan konsep yang di bungkus menjadi retorika, serta melakukan transformasi kesadaran palsu bagi rakyat. “Jangan-jangan” benar kata Albert Camus, filsuf Prancis, semua yang lalu itu tidak lagi ada. Apa yang akan ada itu belum lagi ada. Dan yang ada sekarang tidaklah memuaskan.” Rakyat butuh “PEMIMPIN !,” bukan “PEMIMPI”.