Nining pulang dengan wajah bingung sekaligus kesal walaupun ia berhasil membawa pulang obat asam urat dan belanjaannya. Ia bingung kenapa kartu-kartunya tidak bisa digunakan. Sesampainya di rumah, ditemuinya Jeriko yang sedang menyapu halaman. Melihat istrinya pulang, Jeriko melemparkan senyum yang diperkirakannya sebagai senyuman terindahnya, Nining malah membalas senyuman Jeriko dengan mulut monyong.
“loh loh Istriku kok pulang-pulang bawa moncong bebek begitu…” Canda Jeriko menyambut Nining.
“Huuu Mas! Masa kartuku ditolak perawat puskesmas sama Mas Ucup!” Nining mengadukan kejadian yang menimpa dirinya pagi itu.
“Loh? Iya? Ya sudah ndak apa-apa. Ra urus itu. Aku udah kasih cash lima ratus ribu kan tadi? Cukup buat sehari kan, Sayang?” Jeriko menjawab cuek hal yang yang membuat Nining kesal.
“tapi kan mas, aku…”
“Nanti aku tambahi tiga ratus ribu yaaa, mmuuaah”
Kemudian hening.
***
Sebulan sudah bahtera rumah tangga Jeriko dan Nining berlayar. Nining bahagia sekali bersuamikan Jeriko yang sangat sempurna di matanya. Tak pernah ia merasa kekurangan dari segi apapun. Nining benar-benar merasa berkecukupan lahir batin. Hingga suatu hari…
“Ning, ini untuk kebutuhan hari ini ya…” Jeriko menyerahkan sebuah amplop putih ke tangan Nining.
Nining kemudian membuka amplop tersebut dan menemukan uang tiga ratus ribu rupiah. “Loh mas! Kok Cuma tiga ratus?!” Nining protes.
“Istriku… kita harus berhemat dulu. Jajanmu aku alihkan sebagian untuk tabungan beli rumah kita, beli mobil kita, beli tanah untuk investasi juga…” Jeriko menjelaskan perihal pengurangan jajan Nining tersebut dengan hati-hati. Nining cemberut.
Berhari-hari ia bersikap dingin kepada Jeriko. Selalu muka masam yang didapat Jeriko. Apapun yang dikatakan Jeriko, Nining selalu menjawab ketus. Seperti hari ini…
Nining menaruh lauk makan siang dengan sekenanya saja di hadapan Jeriko. Lalu mengambil piring untuk makannya sendiri. Tak dilayaninya suaminya yang akan makan siang juga bersamanya. Jeriko berusaha membuka percakapan.
“masak apa, Istriku?”
“Ga usah banyak tanya, makan aja!” Nining menjawab ketus sambil terus mengunyah.
“Tahu, Tempe, sama sambel terasi? Kok ini aja, Ning?” Jeriko kecewa melihat menu makan siangnya.
“Nah itu, kurang jajan ya kurang lauk!”
Akhirnya Jeriko menyerah, ia tak tahan akan perang dingin yang dikobarkan Nining. Terlebih lagi makannya jadi tak enak semenjak Nining hanya mau menyediakan tempe, tahu, dan terasi.
“Sayang, ini uang untuk kebutuhan hari ini. Hemat-hemat ya istriku…” Jeriko menyodorkan amplop putih kepada Nining. Tapi raut wajah Nining tak menyiratkan apa-apa. Dengan ogah-ogahan ia terima amplop itu. Semenjak jatahnya dikurangi, Nining tak lagi menunjukkan ketertarikan terhadap amplop putih yang diberi Jeriko setiap pagi. Nining membuka amplopnya, dan menemukan uang Rp. 480.000. ia melotot meminta penjelasan kepada Jeriko.
“Istriku, kita harus tetap menabung untuk beli rumah, mobil, dan investasi…” Jeriko menjelaskan dengan sangat hati-hati. Nining diam saja. Setidaknya jajannya sudah dinaikkan lagi. Mulai hari itu, lauk makan siang Jeriko juga berubah. Sekarang ada telur ceplok di meja makan. Kadang-kadang ikan goreng lado hijau.
Hari itu, Jeriko pulang dengan wajah sumringah. Entah darimana dia, tapi sepanjang jalan, matanya tak lepas-lepas memangdang batu akik di jari manis tangan kirinya. Nining yang melihat kepulangan suaminya dari halaman rumah agak bingung melihat suaminya berjalan tak memandang jalan seperti itu. Sampai berjarak dua meter di hadapan Nining pun ia tak juga mengalihkan pandangannya.
“Mas! Kok jalannya seperti itu?” hardik Nining.
“eh, Ning! Lihat.. aku dapat batu bagus!” Jeriko memamerkan batu yang menghias jarinya.
“berapa duit?”
“sejuta..” jawab Jeriko santai.
“BAGUS! Jajanku dikurang, kamu beli batu buluk begini satu juta?! Katanya mau nabung?! MAS!!!”
Jeriko hampir saja melompat mendengar Nining berteriak histeris seperti itu. Setelah menguasai keadaan, ia menjawab, “Hmm,, yaa nanti kupelajari lagi alasanku kenapa beli batu ini…” kemudian berlalu ke dalam rumah.
Setelah kemarahan Nining itu, Jeriko menjual kembali batunya. Ia tak ingin isterinya itu marah-marah terus.
Namun, seperti tak ada habis-habisnya Jeriko berulah. Kali ini ia kembali mengurangi jajan Nining. Nining hanya menerima 400 ribu. Katanya kali ini dialihkan untuk asuransi jiwa mereka nanti. Bukannya menabung, Jeriko malah lagi-lagi membeli batu akik. Ia sudah mengumpulkan sekitar dua puluh batu. Dengan beragam warna dan corak, harganya pun selangit.
Berkali-kali Nining ngamuk ketika batu baru dibawa pulang oleh Jeriko. Tapi kali Ini, Jeriko hanya menanggapi cuek kemarahan Nining. Tak jadi soal lagi olehnya. Ia tahu Nining marah hanya sebentar. Tiga hari cukup. Dan ia sudah kebal.
***
Siang itu, Nining pamit kepada suaminya mau ke rumah orangtuanya. Nining ingin bertemu ibunya, ingin menceritakan beban hidupnya mempunyai suami seorang akikers. Setelah mendengar duduk permasalahannya, ibu Nining memeluk anak semata wayangnya tersebut.
“Anakku, itulah gunanya pernikahan… memberi kesempatan kepada dua insan untuk saling memahami,” berdiri bulu kuduk Nining mendengar ucapan Ibunya. Kalimat yang sama seperti yang diucapkannya kepada Wiwik sehari sebelum ia menikah.
“Jangan terlalu cepat menyebut keburukan suamimu, Nduk… kalian baru tiga bulan. Masih banyak waktu untuk saling memahami, nanti jika sudah lima tahun, baru bisa kamu kritisi. Sekarang pelajari dulu suamimu, cari kebaikannya…”
***
Nining pulang ke rumah kecilnya dengan Jeriko. Sepanjang perjalanan ia memikirkan nasihat ibunya. Ia akan bersabar, pikirnya. Mas Jeriko itu dasarnya baik….
“Guk!!!” seekor anjing buldog menghardik Nining ketika ia menginjakkan kakinya di halaman rumah. Nining kaget bukan kepalang. Terlebih lagi ia tak begitu suka dengan yang namanya anjing.
“Mas! Maaaaassss!”
Jeriko mendengar isterinya berteriak dari halaman, segera mematikan kompor yang sedang ia gunakan untuk merebus air. Kemudian segera ia hampiri isterinya di halaman.
“Ada apa, Ning? Kok pulang bukannya assalamualaikum malah teriak-teriak?”
“INI ANJING SIAPA?”
“anjing kita…”
“kamu tahu aku nggak suka anjing?” Nining melotot.
“Tapi ini titipan Mommy, kata Mommy buat jaga rumah kita…” Jeriko mencoba menjelaskan.
Nining diam, ia kehabisan kata. Bagaimana mungkin ia menolak titipan mertuanya. Lama ia patut-patut anjing gendut itu. Sepertinya ia kenal…
“INI ANJING YANG NYURI DAGING BELANJAANKU DI PASAR KEMARIN!!! Kamu mau pakai anjing pencuri untuk jaga rumah kita?!” lagi-lagi Nining kumat.
Enam bulan mereka menikah, semakin nyeleneh Nining rasa kehidupan pernikahannya. Dan ia tak bisa berbuat banyak. Ia ingat nasihat ibunya, ia akan bersabar. Ini baru enam bulan. Nining menginginkan buah hati untuk pelipur kehidupan nyelenehnya. Enam bulan sudah, tapi belum ada tanda-tanda rezeki yang satu itu akan mendatanginya. Ia sudah memeriksakan diri ke puskesmas, ia subur. Apa yang salah, kenapa belum juga…
Nining mengurungkan niatnya untuk meminta Jeriko memeriksakan diri ke puskesmas. Ini baru enam bulan, tak patut aku mendesak-desak mas Jeriko. Setelah dua tahun baru akan kuminta, batin Nining.
Penulis, Jenni Desebrina Gultom
Wartawan Gema Justisia