• Home
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami
Gema Justisia
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni & Sastra
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni & Sastra
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Gema Justisia
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Home Sastra dan Budaya

Kebat(l)inan

Oleh: Talia Sartika Bara Widya *)

Minggu, 25 Agustus 2019 - 16:11 WIB
Sastra dan Budaya
0
BagikanTweetKirimBagikanQR Code

Bagiku sosok Uda adalah kontradiksi tersendiri baik setiap tingkah laku dan ucapannya, bahkan walau kami berasal dari orangtua yang sama dan tumbuh di lingkungan yang sama tetap saja aku tidak mengerti dirinya apalagi pemikirannya. Tentu mulanya Uda bukan sosok yang seperti itu, dia cukup baik dan sesekali bandel seperti anak lelaki pada umumnya, bisa dibilang Uda dulu adalah sosok yang normal.

Dulu dia juga merupakan orang yang sholat lima waktu sehari semalam, walau kadang tidak tepat waktu, Uda juga menghafal banyak ayat dalam Al-Qur’an walau ia sama sekali tak mengerti arti dari hafalannya. Tapi tepat saat Uda berusia 16 tahun sementara aku berusia 10 tahun, dia dan beberapa pemuda lainnya mulai mengikuti Mak Tuah yang merupakan orang bijak di kampung kami.

Mak Tuah sendiri adalah orang yang rajin beribadah, tapi beliau agak menghindar dari banyak orang dan sedikit agak tertutup. Walau begitu sosok beliau yang karismatik sanggup membuat banyak pemuda di kampung kami mau berguru pada beliau, belum lagi masyarakat kampung yang sangat mempercayai Mak Tuah untuk memecahkan berbagai polemik hidup mereka mulai dari urusan besar seperti harta warisan hingga ayam mana yang harus disembelih yang betina atau yang jantan.

Semenjak berguru pada Mak Tuah, Uda mulai rajin sholat tepat waktu, mengaji, bertasbih, dan berpuasa. Tentunya ini adalah hal yang baik dan membuat Amak dan Apak jadi bangga bahwa anaknya mulai memperdalami ilmu agama.

Namun, entah mengapa perlahan Uda mulai berubah, ia mulai memelihara keris dan bebatuan dengan memberi makan benda tersebut bunga kemenyan atau darah ayam jantan yang kata Uda memelihara kedua benda yang katanya magis itu bisa menambah karismanya, atau bagaimana Uda tidak makan tiga hari tiga malam lantaran perintah dari Mak Tuah agar ia bisa menahan nafsunya, begitu juga saat Uda mengurung diri di kamar tanpa pencahayaan selama seminggu dan hanya bertahan dengan minum air lantaran alasan yang sama.

Semua tindakan Uda mulai tidak masuk akal entah mengapa Amak dan Apak malah mendukung penuh tindakan Uda. Bahkan, memfasilitasi Uda agar bisa memperdalam ilmu yang ia pelajari dari Mak Tuah, termasuk memperbolehkan Uda untuk tidak berkuliah dan tidak bekerja demi menuntut ilmu dari beliau.

Saat ini seperti apa yang sudah kujelaskan sebelumnya, apa yang Uda lakukan sangat tidak masuk akal, dan tentu saja tidak sekali dua kali aku mengatakan pada Uda bahwa hal yang ia lakukan mulai menyimpang dan salah. Tapi Uda menyanggah saranku dengan berkata, “Tahu apa sih kamu tentang ilmu yang sedang Uda pelajari ini?”

“Yang aku tahu agama kita tidak mengajarkan hal seperti itu!” Ucapku tegas.”Orang seperti kamu mau mengingatkan Uda soal urusan agama?” Tanya Uda dengan nada meremehkan, “Kamu saja tidak mengaji setiap selesai sholat, berpuasa sunah pun kamu tidak, dan hafalan ayatmu lebih sedikit dari Uda.”

Aku terdiam, bukan karena aku merasa tersudutkan akan fakta itu namun aku paham jika aku menasehati Uda lebih lanjut dia tetap tidak akan mau mendengarkan terkecuali jika aku adalah Mak Tuah. Seiring dengan mulutku yang terdiam, Uda tampak bangga dan merasa dirinya telah menang.

Lama kelamaan aku mulai memilih untuk tidak berkomentar tentang Uda walau makin hari aku makin kesal dengannya dan segala tetek bengek urusan yang ia miliki dengan Mak Tuah. Hingga akhirnya saat aku berumur 15 tahun, aku mendapat tawaran dari Mak Gaek yang merupakan saudara tertua Apak, untuk pindah ke kota dan melanjutkan SMA di sana.

Tentunya Uda sangat senang akan hal ini dan memprovokasi Amak dan Apak yang awalnya berat hati untuk melepas anak bungsu mereka. Berbagai alasan pun mulai Uda utarakan mulai dari kondisi Mak Gaek dan istrinya yang tidak bisa memiliki anak, sampai alasan tidak masuk akal seperti karena namaku Malin maka sudah pasti takdirku untuk merantau seperti Malin Kundang, dan begitu juga dengan bujuk rayu Uda padaku agar mau merantau dari kampung ini.

Sebenarnya, tanpa rayuan pun aku memang mau meninggalkan kampung ini sebab sudah tidak tahan dengan segala perkara di kampung yang menyangkut Mak Tuah. Akhirnya aku pergi dari kampung dan tinggal di kota bersama Mak Gaek dan istrinya yang kupanggil Etek Mar.

Tidak seperti orangtuaku yang mempercayai hal-hal berbau magis, Mak Gaek dan Etek Mar justru tidak mempercayai hal tersebut dan mereka berkata padaku bahwa salah satu alasan mereka membawaku ke kota adalah agar aku tidak mengikuti kebanyakan pemuda di kampung yang lebih memilih untuk berguru pada Mak Tuah ketimbang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.

“Mak Gaek tidak mau kalau kamu seperti Uda kamu itu,” ucap Mak Gaek sambil menepuk bahuku, “Kamu tetap harus mempelajari ilmu agama tapi jangan sampai seperti itu.”

“Malin, sekarang kamu sudah di kota, dan di sini persaingan lebih ketat jadi kamu juga harus rajin belajar,” saran Etek Mar padaku.

Aku mengangguk pada ucapan mereka, dan menjalani apa yang mereka suruh padaku. Memang awalnya aku agak canggung pada mereka tapi lama kelamaan aku mulai terbiasa, begitu juga rasa sayang mereka padaku yang sangat besar sehingga mereka menganggapku selayaknya anak kandung mereka.

Tak terasa waktu berlalu dan kini usiaku sudah 18 tahun dan saat ini aku sedang berkuliah di sebuah universitas swasta jurusan teknik telekomunikasi. Selama di kota aku jarang mendapat telepon dari kampung dan belum ada kembali ke kampung setelah kepindahanku, hingga pada suatu hari sepulang dari kampus mendadak Amak menelponku sambil menangis, “Amak sudah tidak sanggup sama tingkah Uda kamu Malin,” ucap Emak terisak.

Segera saja setelah mendengar itu aku langsung berpamitan pada Mak Gaek dan Etek Mar untuk segera pergi ke kampung. Setelah mendapat izin, aku segera mencari pesawat dan bus untuk pergi ke kampung. Sesampainya di kampung, aku terkejut saat melihat pemuda-pemuda di sana meneguk minuman keras selayaknya mereka meneguk air saat sedang kehausan begitu juga dengan para pemuda yang sedang bermain judi di warung-warung.

Tanpa memperhatikan mereka lebih lama lagi aku segera ke rumah, sesampainya di sana aku melihat sosok Amak yang kurus dan wajahnya tampak lebih tua dari usianya.
“Uda kamu itu Malin, Amak tidak sanggup…”
Aku segera memeluk Amak, aku tak kuat untuk bertanya apa saja yang sudah Uda dan para pemuda lainnya lakukan saat aku tidak di kampung atau bagaimana semua hal ini bisa terjadi.

Tapi dengan perlahan Amak mulai menceritakan semuanya padaku. Bahwa saat aku pergi ada seorang pemuda bertanya apa rahasia Mak Tuah sehingga ia bisa menjadi seseorang yang rajin beribadah dan dalam ilmu batinnya.

Mak Tuah menjawab bahwa dulu dia melakukan banyak dosa sebelum akhirnya bertobat, beberapa hari kemudian Mak Tuah menutup usianya yang sudah 84 tahun.

Setelah kepergian Mak Tuah para pemuda di kampung mulai berbuat onar dengan harapan agar bisa seperti Mak Tuah. Namun yang terjadi malah mereka menikmati setiap dosa yang mereka lakukan dan menunda tobat yang mereka rencanakan.


*) Talia Sartika Bara Widya adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas.

BagikanTweetKirimBagikanPindai

Baca Juga

Selamat Tinggal Asa

23 Feb 2021 - 09:35 WIB

Jungkir Balik Pers

22 Feb 2021 - 02:44 WIB

Keadilan Sebatas Pajangan

9 Feb 2021 - 07:53 WIB

Terbangmu Terlalu Tinggi

12 Jan 2021 - 19:33 WIB

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@gemajustisia

    Please install/update and activate JNews Instagram plugin.

Get it on Google Play

Terpopuler Sepekan

    Gema Justisia

    Copyright © 2019 Gema Justisia. All right reserved.
    Design and maintenance by MogoDev.
    • Home
    • Redaksi
    • Tentang Kami
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
    • Kode Etik
    • Standar Perlindungan Wartawan
    • Kebijakan Privasi
    • Hubungi Kami
    • Home
    • Redaksi
    • Tentang Kami
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
    • Kode Etik
    • Standar Perlindungan Wartawan
    • Kebijakan Privasi
    • Hubungi Kami
    Copyright © 2019 Gema Justisia. All right reserved.
    Design and maintenance by MogoDev.
    • Home
    • Liputan dan Peristiwa
    • Opini
    • Sosok dan Tokoh
    • Law Share
    • Seni dan Sastra
    • Redaksi
    • Tentang Kami
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Kode Etik
    • Kebijakan Privasi
    • Hubungi Kami