• Home
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami
Gema Justisia
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni & Sastra
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni & Sastra
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Gema Justisia
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Home Opini

Korupsi Dibalas Nyawa

Minggu, 10 Januari 2021 - 14:55 WIB
Opini
0
BagikanTweetKirimBagikanQR Code

Korupsi merupakan permasalahan krusial di Indonesia karena menyangkut ke seluruh aspek kehidupan. Korupsi dapat mengakibatkan meningkatnya utang luar negeri Indonesia, kemiskinan, dan hilangnya kesejahteraan sosial. Dalam tata pemerintahan Indonesia, semua elemen sudah banyak yang terjangkit kasus korupsi.

Kasus korupsi birokratis yang terus berulang, dapat diartikan bahwa hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia masih lemah. Padahal hukum tentang tindak pidana korupsi sudah dibuat khusus sesuai penetapan hukum pidana khusus di Indonesia. Namun, jika diulik lebih lanjut lagi terkait delik- delik dalam UU Tipikor, ada pasal yang menjadi perdebatan menyangkut HAM.

Hal yang menarik dari UU Tipikor ialah pengenaan hukuman pidana mati. Banyak yang memperdebatkan dan menghubungkannya dengan HAM seseorang. Sesuai asas lex dura sed temen scripta dalam KUHP yang berartikan hukum itu kejam, tetapi memang begitulah bunyinya. Asas tersebut dapat dikaitkan dengan pengenaan hukuman mati karena penulisan hukum mati dalam UU tentu sudah dipikirkan secara matang sesuai asas kejelasan rumusan pembentukan peraturan perundang- undangan.

Menurut Saya, penulisan klausul hukuman mati dalam UU Tipikor merupakan wujud akhir dari intolerannya Indonesia terhadap tindakan korupsi sehingga seharusnya dengan dinyatakan secara eksplisit pidana mati seperti yang dimuat dalam UU Tipikor, membuat para koruptor takut. Namun, kenyataannya tidak sama sekali.

Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan menurut sosiologi termasuk ke dalam tindak kejatahatan kerah putih sehingga untuk kasus tipikor pemberantasannya pun harus dilakukan dengan cara- cara yang luar biasa (extra ordinary efforts).

Namun, kenyataanya kasus yang seharusnya menjerat hukuman pidana mati tidak terlaksana dengan sebagaimana mestinya. Contohnya, kasus tipikor secara berulang yang dilakukan oleh Dicky Iskandar Dinata terkait korupsi terhadap Bank Duta dan Bank BNI, hanya dijatuhi pidana seumur hidup.

Penerapan Hukuman mati dalam hukum positif Indonesia telah dimuat dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Beberapa dari UU tersebut telah diterapkan secara adil dan ada yang masih diambang batas ketidakjelasan, seperti UU Tipikor. Dalam ICCPR sendiri dalam Pasal 6 Ayat (2) memperbolehkan pemberlakuan hukum mati untuk kejahatan yang serius.

Menilik UU Tipikor yang berkaitan dengan penjatuhan pidana mati terdapat dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor. Pasal a quo secara jelas menyatakan bahwa pidana mati dapat dijatuhkan apabila tindak pidana korupsi dilakukan pada keadaan tertentu. Keadaan yang dimaksud ialah pada saat negara dalam keadaan bahasa, bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, dan pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Namun, secara faktual selama ini belum ada hakim yang menjatuhkan pidana mati terhadap para pelaku tipikor karena diajukannya berbagai dalih sebagai alasan agar tidak terpenuhinya syarat keadaan tertentu dalam Pasal a quo terhadap koruptor. Selama ini hakim hanya menjatuhkan hukuman pidana seumur hidup ataupun paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun sesuai Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor.

Padahal seharusnya untuk kasus seperti ini hakim dapat mengambil andil dengan mengikuti ius contitutum dalam menjatuhkan pidana mati sesuai Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.

Covid- 19 sendiri, dalam Keppres RI No. 12 Tahun 2020 dinyatakan sebagai bencana nasional. Hal ini yang menjadi perdebatan di masyarakat terkait kasus yang baru- baru ini terjadi, yaitu kasus tindak pidana korupsi bantuan sosial covid- 19 oleh mantan menteri sosial kabinet Indonesia maju, Juliari Batubara.

Pengenaan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor merupakan bentuk terpenuhinya klausul yang secara eksplisit tertulis dalam pasal a quo. Namun, diketahui hingga sekarang KPK baru menjerat Juliari dengan Pasal 11 dan atau 12 huruf a dan b UU Tipikor.

Saya sendiri sangat miris dengan tindakan yang tidak berperikemanusiaan dilakukan oleh Juliary pada saat Indonesia dalam keadaan krusial seperti ini, menteri sosial lah yang berulah. Padahal seharusnya Juliari menerapkan Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 pada keadaan sekarang ini.

Kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia sangat diuji pada saat pandemi ini. Kondisi pandemi seperti ini, keuangan negara sangat berpengaruh agar terlaksananya kesejahteraan sosial. Terlebih lagi demand dan daya beli masyarakat turun sognifikan disebabkan banyak pekerja yang di PHK sehingga maraknya pengangguran.

Kerugian negara akibat koruptor jumlahnya tidaklah sedikit. Bagaimana tidaknya masyarakat Indonesia berada dalam kondisi kemiskinan, sedangkan para pejabat pemerintahan yang diharapkan mewujudkan penghidupan yang layak kepada rakyatnya sesuai yang diharapkan dalam konstitusi saja tidak terlaksana.

Saya sangat berharap para pelaku koruptor bukan saja dijatuhi hukuman  penjara dan ganti rugi sesuai yang tertulis dalam UU Tipikor, yaitu 200 Juta hingga 1 Miliar, tetapi seharusnya yang diganti rugi ialah sesuai jumlah yang dikorupsi. Karena kenyataanya para pelaku tipikor mengambil uang negara melebihi uang ganti rugi yang tertulis dalam UU Tipikor.

Kasus tipikor seperti yang Juliari lakukan bukanlah kasus yang pertama kali terjadi di Indonesia. Diketahui sejak tahun 2004 hingga 2018 ada 11 kasus korupsi dana bantuan bencana yang ada di Indonesia. Namun tidak satupun yang dijatuhi hukuman mati. Jadi selama ini cuma- cuma saja pidana mati yang tertera di UU Tipikor jika kenyataannya tidak pernah dijatuhi untuk kasus yang serius seperti ini.

Jelas disini bahwa Saya pro agar KPK secara tegas menjatuhi hukuman mati kepada Juliari dan pelaku korupsi bantuan sosial selanjutnya. Karena sesuai asas Geen straf zonder schuld yang berartikan tiada pidana tanpa kesalahan.

Menurut Saya hukuman mati adalah bentuk akhir dari intolerannya Indonesia terhadap tindak pidana korupsi sehingga apapun konsekuensinya harus diterima tanpa adanya pengajuan grasi lagi. Karena tidak sekali dan dua kali hal ini terjadi sehingga diperlukan ketegasan para penegak hukum dalam mengadili perkara korupsi.

Saran yang dapat Saya berikan ialah tetap dilaksanakannya hukum mati bagi pelaku korupsi yang memenuhi klausul tertulis dalam Pasal 2 Ayat (2) dan pengharusan para koruptor mengganti uang sesuai yang ia korupsi.

 

Penulis: Elsa Cahyani Justitia

BagikanTweetKirimBagikanPindai

Baca Juga

Peran Pers di Lingkungan Kampus

15 Des 2020 - 17:43 WIB

Peran Media Massa dalam Publikasi Payung Hukum UU Cipta Kerja

14 Des 2020 - 18:01 WIB
Dinamika Sistem Perkuliahan 2021(Foto : Gema Justisia)

Dinamika Sistem Perkuliahan 2021

9 Des 2020 - 08:40 WIB
Gelora Kontestasi Pilgub dan Pilkada Sumbar (foto : Gema Justisia)

Gelora Kontestasi Pilgub dan Pilkada Sumbar

6 Des 2020 - 12:46 WIB

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@gemajustisia

Ikuti Kami di Instagram

    Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to connect your Instagram account.

Get it on Google Play

Terpopuler Sepekan

  • Pemuda Lawan Korupsi

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0

Gema Justisia

Copyright © 2019 Gema Justisia. All right reserved.
Design and maintenance by MogoDev.
  • Home
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Kode Etik
  • Standar Perlindungan Wartawan
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami
  • Home
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Kode Etik
  • Standar Perlindungan Wartawan
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami
Copyright © 2019 Gema Justisia. All right reserved.
Design and maintenance by MogoDev.
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni dan Sastra
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami