Sebelum kita membahas mengenai “Korupsi”, baiknya kita harus mengetahui tentang dasar atau pengertian dari kata “Korupsi” itu sendiri. Berasal dari bahasa Latin corruptio, dari kata kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Transparency International mendefenisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan koruptor adalah orang yang melakukan kegiatan itu.
Cerita Tentang korupsi bukan hal yang biasa di negeri kita. Tapi korupsi yang melibatkan ‘orang-orang baik’ telah menjadi penyakit yang menggerogoti manusia dalam kehidupan sehari-hari. Korupsi sekali lagi mebutakan para pejabat, penguasa dan mereka yang berlabel orang baik. Bahkan di lingkup kampus (mahasiswa, birokrat) praktek haram ini biasa juga terjadi secara kecil-kecilan. Walau untuk mengungkapnya butuh investigasi yang sangat mendalam. Akibat prilaku para koruptor tersebut membuat negeri ini terpuruk dan berada pada posisis buntut sebagai negara terkorup. Di Asia, Negeri ini bersama Bangladesh adalah negara terkorup. Parahnya lagi, dari semua kasus korupsi, lembaga legislatif (parlemen) menjadi institusi paling korup. Slank pun merilis lagu untuk menyinggung para wakil rakyat di gedung dewan tersebut. ”Mau tau gak mafia di Senayan? Kerjanya tukang buat peraturan. Bikin UUD, ujung-ujungnya duit.” Begitulah slank mengilustrasikan kerja para anggota dewan. Ironisnya, sebagian wakil rakyat yang merasa tersinggung inign menuntu grup musik tersebut.
Prilaku korupsi telah merajalela dan terjadi secara sistematis. Suap menyuap demi kelancaran proyek menjadi sesuatu yang dianggap lumrah/lazim dan tak melanggar norma dan pranata sosial. Setelah anggarannya disetujui, maka tambahan fulus pun akan mangalir ke kantong-kantong para wakil rakyat tersebut. Aneh bin ajaib, mungkin ini yang disebut mencuri uang (rakyat) di rumah sendiri dan mereka (koruptor) dikenal sebagai tikus dalam karung. Kebudayaan kita memang tak seperti di Jepang, masyarakatnya melakukan Harakiri apabila telah berbuat malu demgan menjadi koruptor. Begitu juga di Cina yang mengharuskan hukuman mati buat para pencuri uang rakyat. Tapi masyarakat Bugis-Makassar memiliki nilai siri na pacce sebagai prinsip yang mengatur kehidupan. Apabila itu dilanggar, maka harga dirinya akan hilang. Ironisnya, koruptor mungkin telah melupakan nilai itu. Sebab mereka tak merasa malu atau berdosa jika mencuri uang rakyat.
Fenomena terbaru dari koruptor kita baru-baru ini ialah kabur keluar negri setelah terjerat kasus manipulasi dan korupsi.Mereka beralasan mengaku berobat keluar negri karena menderita sakit. Sakit yang timbul pun aneh-aneh,ada yang sakit lupa berat,kanker,dan lain-lain. HaL tersebut terjadi akibat pemerintah lalai atau terlambat melakukan pencekalan. Ketika ada indikasi seorang pelaku kasus kriminal sudah melarikan diri ke luar negeri, masih seperti yang dulu, pihak Imigrasi selalu beralasan tidak melakukan pencekalan karena kami belum menerima perintah resmi dari Kepolisian. Sementara pihak Bareskrim berkelit, bahwa secara informal permintaan pencekalan itu sudah kami sampaikan. begitu sulitnya membangun kerja-sama antar lembaga atau intansi di pemerintahan ini. Begitu sulitnya membangun sistem pencekalan yang efektif. Lantas, sampai kapan sistem pencekalan yang buruk dan terlalu birokratis ini akan terus dipertahankan?
Mungkin itu sedikit gambaran mengenai “Korupsi” di Indonesia.Kita tidak akan pernah tau kapan fenomena ini akan berakhir,korupsi tidak hanya fenomena biasa tetapi telah menjadi budaya di masyarakat. Negri kita butuh restorasi atau perubahan yang seluas-luasnya,pendidikan moral dan agama merupakan sarana utama untuk mendukung perubahan tersebut. Singkat kata “mulailah dari diri sendiri”.