oleh: Arifki Chaniago
Pengamat Politik
Pasca reformasi banyak kalangan akademisi gusar bahwa “gagasan” dan “ide” menjadi objek yang lebih murah dari pada gaji pemain musik dan olahragawan. Persoalan ini menyebabkan dewasa ini kualitas “intelektual” di sekolah/perguruan tinggi, hanya sering menjadi “kelinci percobaan”sebagai alasanya murahnya harga profesi pendidik dibandingkan profesi lainnya.
Pemain bola misalnya Christian Ronaldo dan Lionel Messi dengan mudahnya mendapatkan dana miliaran rupiah/minggu. Kerja keras pemain bola profesional merupakan tontonan menarik bagi masyarakat yang menyenangi hiburan. Wajar sekali banyak anak-anak muda yang menghabiskan uangnya untuk bisa membeli tiket agar bisa menonton bola dan bintang kesayangannya secara langsung membawa dan menggolkan ke gawang lawan. Apalagi, akhir-akhir ini dengan merebaknya Korea-Pop menyebabkan anak-anak muda Indonesia, misalnya, harus berjuang mengorbankan uang jajannya untuk menghadiri konser jutaan rupiah dari pada menggunakan uang tersebut membeli buku, yang jelas-jelas berimpak langsung pada kualitas akademiknya.
Persoalan ini, tak bisa dianggap sepele sebagai sesuatu yang dikatakan perkembangan zaman (globalisasi). Nyatanya globalisasi jelas-jelas membuat kita terbelakang secara akademik dan maju dengan peralatan. Sebagai bagian “kapitalisasi” kebutuhan masyarakat kita yang malas bekerja, berkarya dan menghargai karya-karya anak bangsa sebagai sesuatu yang harus dikembangkan.
Pendidikan Pasar
Bagi perkembangan suatu peradaban, pendidikan adalah unsur yang sangat vital. Kevitalan pendidikan menjadikan orang tua yang tidak memliki anak yang pendidikannya bagus maka timbul demam sosial dalam masyarakat. Demam itu timbul karena masyarakat sudah mulai cerdas dengan memosisikan pendidikan sebagai unsur yang lebih penting dari pada kekayaan yang mereka miliki.
Kekayaan yang seharusnya menjadi harapan untuk para anak-anak bisa mencicipi pendidikan formal yang seukuran SD, SLTP, SLTA maupun Perguruan tinggi. Namun, sangat disayangkan sekali jika pendidikan yang diharapkan oleh para orang tua di rumahnya, malah dari jalur budaya yang mereka didik dari dini kepada anak-anaknya. Larinya harapan masyarakat dari jalur moral yang mereka wariskan dari generasi kegenerasi oleh leluhur mereka bahwa agama, etika, moral dan kepatutan adalah sumber utama dalam memahami hidup. Terus bagaimana jika pendidikan yang mereka banggakan sebagai pendidikan moral anak-anakya gagal memberikan contoh kepada anak-anaknya. Sehingga ada timbul rasa penyesalan dari orang tua yang telah memberikan pedidikan formal pada anak-anaknya.
Keterbelakangan kita secara akademik ditunjukan dengan rendahnya budaya membaca, membahas, mengkaji, mengkuliti pemikiran masing-masing kita di tataran akademik. Pada lapangan perguruan tinggi, misalnya, adanya budaya gengsi sesama guru besar membahas pemikiran sesama “temanya”—dari penelitian dan buku yang telah diterbitkan—lagi-lagi, budaya cemburu buta, tak ingin membesarkan “gagasan “kawan menyebabkan para guru besar kita banyak yang kehilangan penggali dan penyelam pemikiran dari kacamata luar. Impaknya, gagasan guru besar kita cendrung berdebat pada pertarungan “pendapat” dan pendapatan semata, tanpa ada dialektika dan konsensus yang ilmiah.
Pada akhirnya, orientasi yang diperlihatkan pada generasi yang dibawahnya adalah bahwa komplesitas tak ada diperguruan tinggi. Semua itu harus dihapuskan karena bertentangan dengan ideologi yang saya dalami. Akhirnya, perguruan tinggi hanya sibuk memperkaya ideologi yang sedang kuat dan legitimasi pendukungnya kuat pada sekolah dan universitas tersebut. Hal ini terlihat, lagi-lagi masalah perbedaan “pendapat” dan pendapatan” yang menyebabkan pertarungan kurang fair—menjadiakan perguruan tinggi sebagai wadah intelektual yang kompleks hanya sebatas mimpi dan wacana kosong.
Pendidikan Pasar
Jika kita perhatikan pedidikan saat ini dari SD sampai perguruan tinggi telah kehilangan substansi pedidikan yang seharusnya diperlihatkan para pendidik. Seorang guru atau dosen seharusnya jangan hanya bersikeras dengan kedisiplinan dan baju rapi yang digunakan oleh anak didiknya. Nilai agama, etika dan kepatutan juga perlu diajarkan, karena aturan yang dipertegas saja tanpa ada nilai yang diperoleh dari aspek budaya prilaku maka semua itu tidak ada gunanya.
Budaya prilaku menjadi pekerjaan rumah yang sulit dikembangkan oleh dunia pendidikan, karena dunia pedidikan hanya memikirkan citra kepada pihak lain bahwa mereka adalah orang yang baik dalam mengemas peserta didik mereka. Kehilangan esensi dalam pendidikan ini menimbulkan sikap kewajaran bahwa lembaga pendidikan memaksa peserta didik untuk kaku dalampembelajaran sehingga akan timbul kegagalan dalam pengembangan generasi.
Otak peserta didik dipaksakan sama isinya dengan bukuyang ada di atas meja mereka. Sehingga nilai kreatifitas tersingkirkan seketika. Jika peserta didik hanya menjalankan seseuatu yang ada tanpa ada perubahan, sama saja peserta didik disamakan dengan robot alias mesin yang bekerja. Nah, Sungguh disayangkansekali jika sistem mesin ini masih menjadi pedoman para pendidik kita untuk melahirkan para negarawan maupun penerus bangsa ini kedepan. Pemaksaan seorang murid dalam suatu obyek pembelajaran menjadikan budaya mencontek akan terjadikarenajawaban dan penjelasan peserta didik diharuskan sama dengan buku yang ada walaupunpenjelasan dan jawaban yang diberikan peserta didik itu memilik jawaban yang mengartikan maksud yang sama.
Betapa tidak dirugikan sekali sikap inovatif dan kreatifitas peseta didik karena mereka adalah mesin. Mereka akan menjadi juara, hebat bahkan kaya jika standar mesin mereka terapkan dalam menempuh pendidikan. Dunia kerja akan menunggu anda anak-anak jika anda berkelakuan baik dan patuhpada atasan anda, itulah yang di doktrinkan oleh pendidik kepada murid-muridnya. Kalian akan bekerja pada perusahan manufaktur, bekerja seperti mesin dan nilai kalian harus tinggi itu menjadistandar yang selalu dijanjikan oleh para pendidik kepada para murid-muridnya (pendidikan pasar)
Selain itu, ukuran keberhasilan pendidikan kita adalah dengan mengutamakan poin yang akan dicapai oleh para murid-muridnya. Akibat yang akan dijalankan oleh sistem poin ini adalah mereka akan belajar hanya untuk sebuah poin bukan ilmu yang akan mereka kembangkan dalam bermasyarakat. Nilai seratus baru belajar tapi jika dibawah lima puluh adalah murid bodoh. Kita tentu ingat kisah Thomas Alfa Edison yang sewaktu ia kecil ditolak oleh para gurunya untuk belajar di sekolah. Penyebabnya hanya ia orang yang bodoh dan dungu kata guru-gurunya.Ia tidak bisa mengikuti standar yang kami berikan kepada Edison sesuai aturan sekolah. Namun, ibunya masih dengan sabar mendidik Edison daripendidikan keluarga dengan budaya etika, semangat dan motivasi yang tinggi pada Edison. Edison berproses dalam binaan tangan dingin ibunya, bahwa ia adalah orang yang sukses. Lihatlah sekarang kalaubukan karena Edison yang bodoh dan dungu tidak mungkin kita masih bisa melihat malam dengan peneranagan yang indah sampai saat ini.
Standar poin dan ukuran keinginan sebuah lembaga pendidikan terbantahkan jika kita melihat kisah Edison yang dianggap bodoh dan dungu oleh para pendidiknya, Edison terbukti bisa mengubah duniayang gelapdengan penemuannya. Membiarkan seorang peserta didik dengan hobi dan bakatnya menjadikan seorang peserta didik akan menjadi dirinya sendiri bahwa saya bahagia dengan kegiatan yangsaya lakukan bukan kebencian yang ditimbulkan pada pendidikan yang sedang ia jalani.
Seorang peserta didik yang ingin belajar sastra, tetapi lingkungan termasuk orang tuanya, memaksa ia untuk belajar di Fakultas kedokeran. Tentu anak tersebut tidak akan mendapatkan kebahagian yang ia butuhkan. Pendidikan Dokter adalah pendidikanyang bergengsi. Carilah nilai yang tingi disana, jangan buat malu orang tua, itu adalah sikap sebahagian orang tua pada anak-anaknya.Padahal anaknya menyukai sastra, tetapi mesin sosial memaksanya bahwa pendidikan dokter adalah yang terbaik, walaupun ia harus mengubur hobi dan bakatnya dibidang sastra. Kerugian tentu akan hadir pada generasi kita selanjutnya jika pendidikan mesin masih menjadi budaya adopsi kita untuk diterapkan di Indonesia.
Gambar: Kompasiana