Pada tanggal 21 Juli lalu, Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Regulasi ini merupakan turunan dari UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Menariknya, walaupun terbilang baru, PP ini tidak terlepas pro-kontra dari berbagai pihak. Kontorversi ini muncul karena ada satu pasal secara tersurat melegalkan aborsi dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu itu, dalam Pasal 31 ayat (2) secara eksplisit menerangkan, untuk melegalkan aborsi harus mensyaratkan ada indikasi kedaruratan atau keselamatan si ibu dan juga karena perkosaan.
Kamis (11/9), dengan landasan itu, Fakultas Kedokteran Unand mengadakan diskusi umum untuk mengulas keberadaan PP tersebut. Pada momen kali ini, panitia menghadirkan beberapa narasumber yang terkait, antara lain Dr. Syamel Muhammad, SP, OG dan Ust. Fadlan Mustiqa, Lc. Dua narasumber ini sengaja diundang untuk menjawab setiap pertanyaan dari peserta diskusi.
Trending Topik dalam diskusi ini lebih meyoroti Keberadaan frasa yang mensyaratkan “ karena Perkosaan” merupakan salah satu syarat untuk melegalkan aborsi.
Dalam paparanya, Syamel sendiri tidak menyetujui dengan kehadiran PP tersebut, hal ini dikarenakan bisa saja mendukung keinginan setiap orang untuk melakukan hal semberonoh atau “seks”. Logikanya mereka bisa saja mengaku-ngaku karena diperkosa, padahal memang murni mesum.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa korban pemerkosaan dapat dikatakan sebagai korban harus mendapat persetujuan dari polisi terlebih dahulu, setelah itu dapat mengajukan permohonan ke medis, dan pihak medis akan memberikan kontrasepsi darurat agar tidak terjadi kehamilan.“jika memang terjadi kasus pemerkosaan maka si wanita harus melaporkannya ke polisi bukan harus menunggu apakah sudah hamil atau belum.” Ujar Syamsel
Dilain sisi, Dr. Syamsel beranggapan PP ini juga sangat membahayakan bagi si pekerja medis itu sendiri. Menurutnya para medis sangat takut dengan akan keberadaan KUHP, walaupun sudah dilindungi oleh PP itu sendiri. Sebab tak jarang aborsi bisa saja berujung pada nyawa melayang.
Sementara, dari pandangan ust. Fadlan, sebenarnya tidak setuju dengan kemunculan PP itu, walaupun memang hal tersebut justru dibenarkan dari pendapat MUI. “asalkan selama usia kandungan belum mencapai 4 bulan. Sebab roh dari si bayi belum ada dan demi keselamatan si ibu maka tidak apa-apa untuk melakukan aborsi.” Tambah fadlan
Ada beberapa syarat untuk melegalkan aborsi karena perkosaan antara lain, jika aborsi benar hasil pemerkosaan, maka harus dilakukan secepatnya sebelum 40 hari, apabila lebih dari 40 hari maka si wanita ridha dengan janin yang di kandungnya.
Pada kesempatan lain tim gemajustisia.com, menemui salah seorang dosen fakultas hukum yang mengajar Hukum Kesehatan yaitu Fadilah Sabri, SH, MH. Dalam pandangannya beliau pun tidak setuju dengan kehadiran PP ini. “menurut hukum pidana itu dilarang karena dapat mengakibatkan kematian.” Tegas Fadilah Sabri
Kalau dilihat dari ketentuan, Aborsi secara medis merupakan pertimbangan-pertimbangan secara medis yang mana boleh memilih antara si ibu dan si anak yang akan harus di selamatkan, justru Abortus provocatus criminalis yg dilarang oleh aturan-aturan hukum pidana, kecuali ada pertimbangan secara medis.
Para medis sangat dikhawatirkan dengan keberadaan PP ini, sebab dalam praktiknya akan sulit, konsekuensinya akan berdampak pada tindak Pidana apabila mereka gagal serta, dalam tataran Agama itu sangat dilarang oleh Allah. Dari segi Hukum sendiri akan terjerat oleh Pasal 346 KUHPidana tentang Kejahatan terhadap Nyawa. (Roza & Kiki)