Konflik Polri-KPK belakangan ini melengkapi rentetan panjang kisah kelam yang dituai Korps Bhayangkara sepanjang perjalanan mereka. Sebelumnya, sebut saja salah satunya konflik antara TNI dan Polri di Batam tahun lalu yang berujung kontak senjata dan memakan korban. Konflik yang terjadi selama beberapa tahun belakangan, baik itu antara Polri dengan TNI, Polri dengan KPK, maupun Polri dengan masyarakat selalu menjadi masalah yang tak kunjung usai dan menghadiahkan resah bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Pasukan yang seharusnya menjaminkan rasa aman, malah menjadi salah satu momok yang menakutkan bagi rakyat indonesia. Rekam jejak kelam Polri ini dinilai sebagai imbas dari kedudukan Pori yang langsung dibawahi presiden. Dengan posisi itu, otomatis menjadikan Polri lebih tinggi dari TNI padahal lahirnya belakangan. Berlandaskan hal tersebut, menjadikan Polri sombong dan bertindak sesukanya, bahkan tak takut baku hantam dengan pihak yang tak bersesuai dengannya, hingga menimbulkan konflik-konfik seperti yang tersebut di atas.
Dengan prestasi-prestasi merahnya, membuat sebagian kalangan menginginkan Polri agar ditundukkan di bawah suatu kementrian seperti TNI yang berada di bawah Kementrian Pertahanan agar tak lagi pongah. Bak gayung bersambut, naiknya pasangan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakilnya pada 2014 lalu mengademkan kekhawatiran masyarakat oleh ulah Polri beberapa tahun belakangan. Pasalnya, pada saat kampanye, pasangan ini menjanjikan akan menggabungkan Polri ke dalam Kementrian Dalam Negeri.
In memoriam janji-janji Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat kampanye Pilpres 2014:
“Kami akan menata Kelembagaan dan Tata Wewenang Polri melalui pemisahan antara kewenangan pengambilan keputusan dan kewenangan pelaksanaan keputusan yang hingga saat sekarang masih tumpang tindih. Hal itu dilakukan dengan menempatkan Polri dalam Kementrian Negara yang proses perubahan dilakukan secara bertahap.” Inilah salah satu visi misi Presiden Joko Widodo dalam penjelasan mengenai topik Berdaulat Dalam Hal Politik.
Wacana tersebut disambut hangat oleh sebagian kalangan. Kewenangan tunggal yang dimiliki Pasukan Satuan Tri Bartha dalam melakukan penyidikan, dinilai rawan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh para oknumnya.
Dilansir dari pelita.com, Nasir Djamal dari fraksi PKS, yang bernaung di bawah Komisi III DPR RI menilai bahwa reposisi Polri di bawah presiden perlu dibicarakan. Ada kejanggalan yang sangat mencolok yang juga tidak adil. TNI sebagai pagar negara dengan tugas yang sangat berat berada di bawah Kementerian Pertahanan, sementara Polri yang lahir belakangan justru berada di bawah presiden langsung. Idealnya Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, supaya paling tidak setara dengan TNI yang di bawah Kementerian Pertahanan..
Sayangnya, Presiden Joko Widodo menegaskan, tak akan ada penggabungan Polri ke Kemendagri. “Tidak ada, saya tidak berpikir ke arah itu,” kata Jokowi usai menghadiri Apel Kasatwil di Akademi Polisi Semarang, Jawa Tengah (12/2).
Wacana penyetaraan posisi Polri dengan TNI ini (sama-sama dibawahi oleh sebuah kementrian) tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Jika Polri berada di bawah kementerian, dikhawatirkan Kepolisian hanya akan menjadi alat penguasa semata, dan akhirnya menjadi tidak mandiri (independen).
Senada dengan hal itu, Mantan Kapolri Jenderal Sutarman menuturkan fungsi penegakan hukum akan lebih efektif jika Korps Bhayangkara jauh dari campur tangan pihak lain.
“Sifat tugas Polri disamping memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat juga menegakan hukum, penegakan hukum harus independen. Sehingga yang paling tepat Lembaga Polri harus dibawah presiden,” jelasnya, kepada pewarta beberapa waktu lalu. (um)