• Home
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Kode Etik
  • Kebijakan Privasi
  • Hubungi Kami
Gema Justisia
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni & Sastra
  • Home
  • Liputan dan Peristiwa
  • Opini
  • Sosok dan Tokoh
  • Law Share
  • Seni & Sastra
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Gema Justisia
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Home Opini

Re-orientasi Pendidikan Hukum

Selasa, 3 Juni 2014 - 12:00 WIB
Opini
0
BagikanTweetKirimBagikanQR Code

Raymond Septian Laoli

Analis Hukum, Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan (LAM&PK)
Fakultas Hukum Universitas Andalas

Kriminalitas hingga detik ini menjadi trending topic yang disajikan oleh awak media dan dikonsumsi oleh masyarakat tanpa absen dari ruang publik.Diantaranya seperti; terjadi kesenjangan terhadap putusan pengadilan, berbelit-belitnya penanganan kasus yang menjerat penguasa ataupun pejabat negara, hingga adanya mafia peradilan (mafia corruption) yang menyayat rasa keadilan rakyat. Sehingga, berdampak sistemik terhadap lunturnya kepercayaan publik atas penegakan hukum di Indonesia, cita keadilan serta kesejahteraan sosial sebagaimana tuntutan reformasi.

Hukum, bukan lagi menjadi tempat mencari keadilan dan kebenaran, melainkan lebih merupakan medan pertempuran untuk mencari menang, dimana “orang mencari makan dari situ” (William Pizzi).

Oleh karena itu, ada tiga hal yang perlu kita amati dalam melihat baik buruknya sistem hukum. Ketiga hal tersebut adalah substansi hukum, struktur hukum serta budaya hukum. Tiga hal ini terkait dengan arah pendidikan hukum kita. Mari kita merenung mau dibawa kemana arah pendidikan hukum kita ? Pertanyaan ini patut untuk dijawab oleh bangsa ini, apalagi oleh manusia-manusia pemikir yang akan di produksi oleh fakultas hukum. Fakultas yang akan mencetak mahasiswa bergelar sarjana hukum. Dialektika kondisi hari ini bertujuan untuk mengoreksi dan merefleksikan orientasi pendidikan hukum dan output yang dihasilkan oleh fakultas hukum.

Masa pematangan intelektual hukum yang di produksi oleh fakultas hukum menjadi suatu tolak ukur terhadap keberhasilan utama untuk melahirkan generasi yang akan datang. Guna mengisi struktur penegak hukum yang mumpuni baik itu dalam profesi polri, kejaksaan, kehakiman, advokat ataupun mereka yang mengabdikan dirinya bagi masyarakat (non government organization). Disisi lain, mampu membentuk aturan/kebijakan (substansi hukum) yang berkeadilan serta dapat disinkronkan dengan budaya hukum bangsa ini.

Refleksi Kurikulum Fakultas Hukum

Jika di telusuri kurikulum pada tahun 1993 (Keputusan Mendikbud No.17/1993-24 Februari) yang mengubah kurikulum sebelumnya (tahun 1983), masih tetap dapat dijadikan acuan, karena mendukung pengajaran aktif (actieve teaching method) dan pendidikan kemahiran hukum (legal skills training). Kurikulum yang menanamkan sifat-sifat berani mempertanggungjawabkan perbuatannya (accountability), dapat dipercaya (reliability) dan kesetiaan (faithfulness) pada masalah hukum yang diwakilinya.

Penanaman nilai-nilai keberpihakan sosial dalam kerangka edukasi hukum sangat releven dengan cita penegakan hukum yang berkeadilan. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan dunia pendidikan hukum saat ini sangat berlawanan dengan konsep dan rule yang telah dilaksanakan oleh para pemikir terdahulu, seperti;

Pertama, atmosfer pendidikan hukum saat ini memberikan gambaran bahwa kampus fakultas hukum berusaha menjauhkan pemahaman tentang manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Justifikasi ini lahir dari refleksi dan pengamatan penulis terhadap Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH-UA) yang telah menghapus Mata Kuliah Hak Asasi Manusia bagi mahasiswa angkatan 2012-sekarang. Padahal tahun ajaran sebelumnya mata kuliah ini menjadi mata kuliah wajib fakultas hukum. Matakuliah ini merupakan salah satu pintu masuk untuk membedah teoritik rechtsdogmatiek (dogma hukum) ke dalam realitas penegakan hukum yang berkeadilan.

Walaupun FH-UA telah mengklarifikasi kebijakan penghapusan mata kuliah HAM merupakan kesalahan teknis dalam menginput data program mata kuliah. Namun, kesalahan tersebut patut untuk di pertanggungjawabkan. Hal ini menggambarkan kecacatan formil dan materiil terhadap pelaksanaan program pembelajaran dan transformasi keilmuwan. Kesalahan ini berakibat fatal, tereduksinya pemahaman peserta didik dalam memandang manusia sebagai subjek hukum yang memiliki harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi dan wajib dihormati. Sebuah penghormatan oleh masyarakat dan negara, sebagai konsekuensi hidup didalam negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum.

Kedua, tidak dimasukkannya mata kuliah sosiologi hukum sebagai mata kuliah wajib fakultas, hanya mata kuliah pilihan yang saat ini terancam dihapuskan seperti mata kuliah antropologi hukum yang sudah menjadi almarhum di FH-UA. Lagi-lagi mencerminkan reduksi cara pandang terhadap hukum yang di cita-citakan (ius constituendum) dengan realitas. Pertanyaannya, bagaimana ketika hukum positif (ius constitutum) peninggalan zaman penjajahan masih dipertahankan, padahal budaya hukum kita semakin berkembang. Disamping itu, produksi legislasi kita masih tidak menyelesaikan persoalan terhadap turunnya predikat kejahatan maupun konflik yang terjadi di dalam masyarakat.

Ketiga, masih melekatnya metode dan budaya pembelajaran konservatif. Proses transformasi ilmu menjadikan pengetahuan seolah-olah adalah “anugerah” yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, alias bodoh. Tanpa di sadari terseliplah “paham penindasan” yang membentuk mental dogmatik bagi peserta didik. Padahal, lingkungan belajar, merupakan ruang yang mengajarkan kita demokrasi dan tidak dibenarkannya otoritarianisme marajalela dalam proses pendidikan.

Pengembangan keterampilan itu pun lebih bersifat akademis, bukan keterampilan untuk mengolah realitas hukum. Berkutat kepada teori dengan menjauhkan diri dari realitas akan mengkristalkan pemikiran peserta didik terhadap kesadaran palsu.

Maka, diperlukan menghadirkan ruang-ruang diskursus guna mengasah intelektualitas peserta didik. Membuka ruang dialog antara pengetahuan dan realitas. Tujuannya adalah menciptakan pengetahuan baru yang merefleksikan kembali cita-cita revolusioner pendidikan hukum yang memerdekakan.

Mendekatkan realitas dengan analisis teoritik akan memberikan bekal untuk menjadi seorang intelektual organik yang mampu berpikir dan bertindak berdasarkan nilai-nilai cinta terhadap kebijaksaan dan keadilan. Serta, menyentuh psikologi manusia-manusia hukum yang memiliki komitmen, empati, dedikasi, kejujuran dan yang terpenting adalah mempunyai rasa keadilan. Pada akhirnya, akan memproduksi manusia hukum yang bernurani.

Pendidikan Hukum Yang Humanis

Lembaga pendidikan hukum formal bukanlah hal mutlak dalam proses transformasi pembelajaran hukum. Masyarakat adalah labor bagi mahasiswa fakultas hukum untuk mengamati objek maupun realitas penerapan hukum itu sendiri. Pertukaran antara dunia pendidikan dan dunia sosial menyebabkan timbulnya dinamika dan tuntutan perubahan terhadap lembaga tersebut.

Menggunakan metode pendidikan orang dewasa dalam transformasi pengetahuan hukum merupakan langkah untuk membangunkan intelektualitas peserta didik yang selama ini tertidur. Metode ini mengajarkan interaksi aktif antara pengajar (dosen) maupun peserta didik (mahasiswa) yang bersifat partisipatif. Selain menggunakan logika hukum, juga mengasah pisau analisis dalam melakukan diagnosa terhadap realitas kehidupan hukum tersebut.

Hal yang terpenting adalah menghilangkan budaya bisu di lingkungan kampus. Sebuah langkah konkrit yang dapat kita ambil hari ini, karena menjadi inteletual merdeka itu adalah selalu mempertanyakan dinamika realitas kehidupan dan menyandingkannya dengan nilai yang tumbuh berkembang ditengah-tengah kehidupan ini. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Spence bahwa perlu orang-orang yang berevolusi (need to be evolved persons). Jelas, bahwa intelektual hukum harus berpikir dan bertindak atas suatu realitas penegakan hukum yang berkeadilan.

Penting, menempatkan mahasiswa sebagai aset revolusi dalam peradaban yang berkeadilan dan menuju masyarakat sejahtera secara kolektif. Karena, hal yang perlu diperhatikan terhadap pendidikan hukum adalah mengutamakan “intelektual hukum yang bernurani dan berperikemanusiaan” di atas keinginan menghasilkan “manusia robot penjalan sistem hukum”.

BagikanTweetKirimBagikanPindai

Baca Juga

Memaknai Hari Perempuan Internasional Sebagai Refleksi Hak-hak Perempuan di Lingkungan Kerja

10 Mar 2021 - 15:31 WIB

Pentingkah Multitalenta Bagi Mahasiswa ?

3 Mar 2021 - 07:32 WIB

Korupsi Dibalas Nyawa

10 Jan 2021 - 14:55 WIB

Peran Pers di Lingkungan Kampus

15 Des 2020 - 17:43 WIB

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

@gemajustisia

Ikuti Kami di Instagram

    Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to connect your Instagram account.

Get it on Google Play

Terpopuler Sepekan

    Gema Justisia

    Copyright © 2019 Gema Justisia. All right reserved.
    Design and maintenance by MogoDev.
    • Home
    • Redaksi
    • Tentang Kami
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
    • Kode Etik
    • Standar Perlindungan Wartawan
    • Kebijakan Privasi
    • Hubungi Kami
    • Home
    • Redaksi
    • Tentang Kami
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
    • Kode Etik
    • Standar Perlindungan Wartawan
    • Kebijakan Privasi
    • Hubungi Kami
    Copyright © 2019 Gema Justisia. All right reserved.
    Design and maintenance by MogoDev.
    • Home
    • Liputan dan Peristiwa
    • Opini
    • Sosok dan Tokoh
    • Law Share
    • Seni dan Sastra
    • Redaksi
    • Tentang Kami
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Kode Etik
    • Kebijakan Privasi
    • Hubungi Kami